Penganut Neo-Pagan terutama Neo-Pagan Hellenis menganggap Themis adalah seorang dewi kebajikan dan keadilan. banyak sekte modern menganggap Themis berperan dalam menentukan kehidupan setelah mati. Ia membawa seperangkat timbangan yang digunakan untuk menimbang kebaikan dan keburukan seseorang. Themis juga memberikan masukan terakhir sebelum nasib sang jiwa tersebut ditentukan oleh Hades.
Namun, sialnya adalah simbol keadilan masyarakat Yunani Kuno ini masih terus dianggap sakral dalam dunia hukum di seluruh dunia. Bagaimana mungkin masyarakat di era modern saat ini masih mempercayai atau minimal mensakralkan simbol ini. Bahkan di Indonesia yang paling utama sebagai negeri dengan penduduk bermayoritas menganut kepercayaan Islam masih dan terus menggunakan simbol ini sebagai lambang dari kebajikan dan keadilan.
Mungkin ini adalah salah satu sebab mengapa hukum di Indonesia terkhusus tidak maju-maju. Banyak kita melihat di lapangan bagaimana hukum tajam ke atas dan tumpul kebawah. Bahkan paling minimal adalah hanya memperhatikan aspek legal justice serta mengesampikan moral justice. Betapa banyak potret ketidakadilan dipertontonkan di negeri ini. Yang mungkin bagi sebagian pemerhati hukum hal tersebut adil hanya karena telah memenuhi aspek legal justice tetapi dalam sudut moral justice banyak terabaikan.
Seorang ahli filsafat hukum asal Inggris Laurance Friedmann pernah mengatakan bahwa ketika kita berusaha dengan upaya maksimalpun kalau dalam penegakan hukum mengesampikan unsur-unsur teologis dalam penegakannya atau unsur yang membangunnya, maka semua itu hanya akan menjadi hal yang sia-sia belaka. Dari ucapan tersebut dapat kita aplikasikan atau minimal kita jadikan inspirasi bahwa penegakan hukum di Indonesia haruslah melibatkan unsur teologis didalamnya.
Tidak hanya dalam unsur pembuatan undang-undang namun juga lebih jauh dalam hal penegakan hukum itu sendiri. Baik dalam hal pemutusan ataupun beracara di peradilan itu sendiri. Jangan sampai kita dipertontonkan koruptor maling uang negara milyaran ataupun trilyunan namun di hukum 4 atau 5 tahun atau maksimal 10 tahun. Itupun beberapa tahun setelahnya bebas dengan alasan-alasan yang tidak dapat kita pikirkan. Sementara seorang nenek yang mengambil ubi ataupun pisang hanya karena lapar di vonis 5 tahun, 6 tahun atau 7 tahun.