Penanganan Covid-19 yang begitu masif menuntut adanya keterlibatan berbagai pihak untuk menanggulanginya. Tidak hanya urusan tenaga kesehatan, aparat penegak hukum juga turut ambil bagian dalam melawan penyebaran virus Covid-19. Penindakan kerumunan pun menjadi salah satu fokus Kepolisian saat ini.
Ada dua kasus penindakan kerumunan yang menjadi perhatian publik. Masih hangat dibenak kita ketika seorang Raffi Ahmad tertangkap kamera menghadiri suatu pesta tanpa mengenakan masker. Ironinya, peristiwa tersebut terjadi hanya berselang beberapa jam setelah ia menerima vaksin Covid-19 gelombang pertama. Selain, ada kasus Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab yang menjadi tersangka atas kerumunan akad nikah anaknya di Petamburan, Jakarta.
Menariknya, pihak berwenang menolak untuk menyamakan perlakuan kepada kedua pihak tersebut. Menurut Kepolisian, perbedaan mendasar dari dua kasus tersebut pada jumlah massa dan tempat kejadian perkaranya. Pada kasus Raffi Ahmad, acara pestanya hanya dihadiri belasan orang dan dilangsungkan di ruangan berkapasitas 200 orang. Sementara itu, kasus kerumunan Habib Rizieg melibatkan ribuan orang dan sampai menutup jalan umum. Dampaknya, timbul ketidakpercayaan publik karena adanya ketidakpastian hukum penindakan kerumunan.
Meski begitu, satu hal yang kita lewatkan adalah Kepolisian telah melakukan kriminalisasi bagi pelaku kerumunan. Divisi Humas Polri menyebarkan infografis di media sosial yang berisi peringatan bahwa apabila masyarakat tidak mengindahkan perintah petugas maka dapat dipidana segaimana diatur dalam Pasal 212 KUHP. Namun, pihak Kepolisian melupakan unsur esensial dalam pasal tersebut yakni “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” juga luput dicantumkan. Adapun bunyi Pasal 212 KUHP secara lengkap sebagai berikut:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan kepada seseorang pegawai negeri yang melakukan pekerjaannya yang sah, atau melawan kepada orang yang waktu ‘membantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut undang-undang atau karena permintaan pegawai negeri ‘itu, dihukum karena perlawanan, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,00.”