Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya secara merdeka dengan menjujung tinggi hak asasi manusia dalam negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan penuh tanggung jawab, senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Jaksa sebagai anggota masyarakat selalu menunjukkan keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang serta peraturan perundang-undangan.
Seorang jaksa dalam menjalankan tugasnya selain dibatasi norma hukum perundang-undangan yang berlaku juga harus patuh pada ketentuan etika profesi yang terdapat dalam kode etik profesi. Kode etik profesi tersebut dibutuhkan dalam rangka mewujudkan jaksa yang memiliki integritas kepribadian serta disiplin tinggi guna melaksanakan tugas penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kebenaran.
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti adat istiadat/kebiasaan yang baik. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral. Kode Etik Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan, dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya. Apabila jaksa terbukti melakukan pelanggaran kode etik profesi maka akan dikenakan sanksi ringan, sedang, dan barat tergantung pelanggaran yang dilakukan.
Seperti yang terjadi pada bulan Agustus 2020, dimana terdapat pemberitaan mengenai pelanggaran kode etik enam jaksa, yaitu Hayin Suhikto, Ostar Al Pansri, Bambang Dwi Saputra, Berman Brananta, Andy Sunartejo, dan Rionald Febri Rinando yang bertugas di salah satu Kejaksaan Negeri di Riau. Enam jaksa ini dikabarkan telah melakukan dugaan pemerasan kepada 64 kepala SMP di Indragiri Hulu, Riau. Kasus tersebut bermula ketika adanya pemberitaan di media massa perihal 64 kepala SMP di seluruh Kabupaten Indragiri Hulu, Riau yang merasa diperas oleh pejabat Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu yang bekerjasama dengan LSM dalam pengelolaan dana BOS.
Akibatnya, para kepala sekolah memilih untuk mengundurkan diri. Inspektorat kemudian memeriksa seluruh kepala sekolah. Dari hasil pemeriksaan didapatkan informasi jika 44 dari mereka memberikan uang pada Juni 2020 untuk kasus dana BOS 2018. Selain itu, ditemukan juga sembilan kepala sekolah yang menyerahkan uang pada 2019. Melihat fakta tersebut, pada 23 Juli 2020 Inspektorat Indragiri Hulu Boyke Sitanjak melaporkan perbuatan tersebut kepada KPK dan Komisi Kejaksaan.
Keenam pejabat tersebut telah melanggar pasal 4 angka 1 dan angka 8 juncto pasal 13 angka 1 dan angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri. Tercantum dalam pasal 4 angka 1 mengenai larangan menyalahgunakan wewenang dan angka 8 mengenai larangan menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja yang dari siapapun yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya. Lebih lanjut, dalam Kode Perilaku Jaksa pasal 4 huruf d juga mengatur larangan jaksa untuk meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang keluarganya meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya.
Hal ini sepatutnya dipatuhi setiap jaksa. Dengan tidak adanya jaksa yang menyalahgunakan wewenang dan menerima hadiah atau suatu pemberian, maka akan tercipta aparatur kejaksaan yang bersih dan sehat. Sehingga bisa menimbulkan kepercayaan publik kepada aparatur kejaksaan. Larangan ini tentunya juga digunakan untuk melindungi wibawa dan integritas jaksa.
Ketentuan lain yang memiliki pokok bahasan yang mendekati yaitu pasal 4 huruf a Kode Perilaku Jaksa mengenai larangan menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau pihak lain. Dalam ayat ini, seorang jaksa tidak boleh menyalahgunakan pekerjaannya sebagai jaksa dikarenakan jaksa harus bersikap profesional.
Sejalan dengan hal tersebut terletak jelas dalam pasal 10 ayat 2 UU RI Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dimana jaksa telah mengucapkan sumpah untuk setia kepada negara, senantiasa akan menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum serta senantiasa tidak sekali-kali menerima suatu janji atau pemberian akan tetap teguh menjalankan tugas dan kewajiban yang diamanatkan undang-undang. Tindakan yang dilakukan enam jaksa dalam kasus tersebut telah mencederai sumpah profesi jaksa sebagaimana dalam pasal 10 ayat 2 di atas. Hal ini sangat disayangkan ketika ada jaksa yang melanggar kode etik yang seharusnya dia tahu sebagai orang yang paham hukum bahwa hukum dibuat bukan untuk dilanggar.
Segenap aparatur kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya juga didasarkan atas nilai luhur Tri Karma Adhyaksa. Tri Krama Adhyaksa adalah landasan jiwa dari setiap warga Adhyaksa dalam meraih cita-cita luhurnya, terpatri dalam trapsila yang disebut Tri Krama Adyahksa yang meliputi tiga krama, yaitu: Satya, Adhy, Wicaksana. Satya mengandung arti setia terhadap profesinya dengan berperilaku yang baik dan jujur. Adhy mengandung arti seorang Jaksa dalam menjalankan profesinya harus lebih bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, Tuhan Yang Maha Esa, juga terhadap bangsa dan negara.
Sementara Wicaksana mengandung arti bahwa seorang Jaksa harus selalu bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku khususnya dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Jika jaksa meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan jabatannya apalagi menyalahgunakan wewenang, maka hal tersebut jelas merupakan sebuah pelanggaran atas tugas Jaksa sebagai profesional hukum dan itu merupakan pelanggaran dari Tri Krama Adhyaksa yang merupakan kode etik profesi Jaksa.
Akhirnya, Bidang Pengawasan Kejaksaan Tinggi Riau langsung melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hasil klarifikasi tersebut disimpulkan adanya dugaan perbuatan tercela dan peristiwa dugaan tindak pidana. Setelah itu, hasil klarifikasi tersebut ditingkatkan ke inspeksi kasus dengan diterbitkannya surat perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Riau nomor 237/L.4/L.1/07/2020 untuk melakukan inspeksi kasus terhadap 6 pejabat struktural di Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu.
Dari hasil inspeksi kasus terbukti keenam pejabat tersebut melakukan perbuatan tercela sehingga dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat berupa pembebasan dari jabatan struktural. Hal itu berdasarkan Surat Keputusan Wakil Jaksa Agung Nomor KEP4-042/P/WJA/8/2020, tanggal 7 Agustus 2020.
Penetapan hukuman disiplin tingkat berat berupa pembebasan dari jabatan struktural oleh Kejaksaan Agung, atas pelanggaran kode etik hakim telah tepat dengan undang-undang yang berlaku. Selain dijatuhi hukuman disiplin, Kejaksaan Agung juga mengusut tindak pidananya oleh penyidik bidang Pidana Khusus Kejaksaan Agung. Dari hasil pemeriksaan enam orang saksi ditemukan bukti permulaan yang cukup untuk menentukan tiga tersangka yaitu HS, OAP, RFR.
Penetapan tersangka tersebut dilakukan setelah sebelumnya penyidik melakukan koordinasi dengan KPK. Para tersangka disangkakan pasal 12 huruf e atau pasal 11 atau pasal 5 ayat 2 juncto ayat 1 huruf b UU Nomor 31 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Segala unsur perilaku seorang jaksa harus sesuai dengan kode etik profesi jaksa sebagaimana yang pasti telah diketahui oleh jaksa di seluruh Indonesia. Karena disusun dengan tujuan agar dijalankan, kode etik jaksa, sebagaimana kode etik profesi lain, mengandung nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku dalam suatu profesi. Kode etik Jaksa apabila dijalankan sesuai dengan semestinya akan menghasilkan para Jaksa yang professional dan mempunyai kualitas moral yang baik.
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan institusi lembaga kejaksaan. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat jaksa sekaligus untuk menjaga rasa percaya masyarakat terhadap aparat penegak hukum di Indonesia.
Baca juga:
- Jaksa Nakal dan Penegakan Hukumnya
- Kode Etik Hakim dan Kasus Pertanggungjawaban Pidana Korupsi Jiwasraya
- Jaksa Pinangki dalam Pusaran Djoko Tjandra
- Tak Ada Upaya Kasasi Atas Diskon Hukuman Jaksa Pinangki, Tepatkah?
- Kajian Terhadap Surat Edaran Jaksa Agung: Telah Memenuhi Nilai Keadilan?
- Pelanggaran Kode Etik Jaksa Penyidik dalam Perkara Pinangki
- Pelanggaran Etika Jaksa dalam Pusaran Kasus Djoko Tjandra
- Tak Hanya Urus Pidana, Begini Tugas Jaksa di Bidang Perdata dan TUN
- Menelaah Etika Profesi Jaksa