COVID-19 adalah penyakit jenis baru yang ditemukan di Wuhan Cina, pada Desember 2019. Penyakit ini disebabkan oleh jenis Coronavirus baru yaitu SARS-COV-2. Sejak pasien pertama COVID-19 di Indonesia diumumkan oleh Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020, sampai saat ini media nasional sendiri tidak penah berhenti menyiarkan berita tentang COVID-19. Pemerintah telah menetapkan wabah COVID-19 sebagai Bencana Nasional non-alam pada hari sabtu tanggal 14 Maret 2020. WHO telah lebih dahulu menetapkan COVID-19 sebagai Pandemi global pada 11 Maret 2020 sebelum Indonesia menetapkan sebagai bencana nasional.
Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai cara untuk menangani pandemi COVID-19 itu sendiri, mulai dari siap siaga dan mengantisipasi adanya covid sampai pembatasan sosial sekala besar (PSBB), dan new normal. Pandemi COVID-19 berdampak ke seluruh masyarakat dunia di berbagai sektor dan berimbas pada pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), dan juga pandemi yang terjadi secara global ini sangat berpengaruh terhadap penegakan, jaminan, dan pemenuhan HAM.
Indonesia sendiri sampai 24 November 2020 telah mencatat 506.302 kasus, 64.878 dirawat, 16.111 meninggal, dan 425,313 sembuh. Inilah dampak besar COVID-19 terhadap hak asasi manusia (HAM) yang membuat perlunya penanganan khusus terhadap daruratnya kesehatan masyarakat (Krisis Kesehatan). Negara-negara di dunia sendiri memberlakukan kebijakan isolasi, karantina, dan pembatasan sosial demi mencegah penularan virus tersebut.
Pada saat COVID-19 awal masuk Indonesia, Indonesia bisa dibilang tidak siap untuk menghadapi COVID-19 itu sendiri. Maupun dari segi penanganan sampai segi penanganan HAM. Wakil Ketua Komnas HAM Amirudin Al rahab sendiri berkata bahwa pemerintah masih ragu-ragu dalam menjalankan kebijakan penanggulangan COVID-19, ini berdampak kepada msyarakat mengabaikam pencegahan virus itu sendiri mesikipun ancaman virus ini sangat serius (Cahya, 2020).
Seperti pada saat awal kasus COVID-19 mencuat kepermukaan, Menteri Kesehatan malah terkesan meremehkan dan bukannya memberi edukasi dan tindakan pencegahan untuk menanggulangi COVID-19 yang baru muncul saat itu. Ketika COVID-19 masuk ke indonesia, seakan pemerintah hanya diam dan lelet dalam menjalankan strategi untuk menghadapi COVID-19.
Contohnya pada kurangnya Alat Pelindung Diri (APD) untuk para petugas medis dan banyak juga petugas medis yang terpaksa memodifikasi atau membuat APD dari jas hujan, plastik sampah dan bahan lainnya hanya untuk bertugas dan menyelamatkan diri. Dengan demikian hak atas kesehatan tenaga medis terancam karena bisa dibilang ketidaksiapan pemerintah dalam mencabut datangnya COVID-19.
Menurut Pasal 12(2) huruf d Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights-ICESCR) serta Paragraf 12(b) Komentar Umum Nomor 14 mengenai Pasal 12 ICESCR, yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 tahun 2005, negara wajib mengupayakan perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri, pencegahan, pengobatan dan pengendalian segala penyakit menular, penyakit lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan, serta penciptaan kondisi-kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis (Amnesty, 2020).
Selain para tenaga medis, kelompok masyarakat lain yang juga rentan terancam atas kesehatannya ditengah wabah COVID-19. Menurut pasal 55 UU no 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan Bencana, kelompok rentan meliputi orang lanjut usia, bayi, balit, anak-anak, wanita yang mengandung atau menyusui serta penyandanng disabilitas (Amnesty, 2020).
Pada saat masa sulit dan dilanda kekhawathiran ini keterbukaan informasi dan informasi yang valid, terpercaya dan terus diperbaharui mengenai situasi pandemi serta penanganannya wajib dipenuhi dan diberikan kepada publik tanpa terkecuali (Yati, 2020), ini penting dan sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat dan juga tenaga medis yang menjadi garda terdepan dalam penanganan wabah COVID-19 ini.
Masyarakat sendiri menginginkan informasi yang transparan karena kebutaan informasi sendiri dapat mengancam orang banyak. Begitujuga informasi terkait epidemik dan wabah, juga wajib diumumkan oleh badan publik yang memiliki kewenangan, dan sesuai dengan pasal 12 peraturan komisi informasi No.1 tahun 2010 tentang standar Layanan Indormasi publik. Bahkan Indonesia sendiri memiliki Pasal 154 ayat 1 UU Kesehatan dengan Kewajiban oemerintah untuk menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit menular atau persebaran dalam waktu singkat (Amnesty, 2020)
Ketika kedua pasien pertama yang terjangkit virus Corona, mereka merasa tertekan karena pemberitaan media yang kuat tentang lokasi tempat tinggal mereka yang disampaikan langsung oleh juru bicara pada saat itu. Dengan adanya pemeritahuan itu berdampak pada terpengaruhnya lingkungan terdekat mereka. Padahal indonesia sendiri memiliki Undang-undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan telah menjamin informasi dan hak-hak pribadi yang seharusnya pemerintah lakukan dan bukannya malah menyebarkan atau memberikan pernyataan tentang hak-hak pribadi seseorang, memang benar tujuan pemerintah adalah trasparasi informasi. Tetapi, tidak untuk hak dan privasi seseorang (Amnesty, 2020)
Ketika penyebaran COVID-19 sendiri, Pemerintah memberlakukannya Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) dan berkerja dirumah, banyak para perkerja diseluruh sektor rentan menghadapi resiko pemotongan upah, dirumahkan tanpa upah, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pada Paragraf 41 Komentar Umum No.23 tahun 2016 mengenai Hak Atas Pekerjaan, maka pemerintah wajib memastikan perusahaan tetap membayarkan upah pekerja.
Upaya penerapan PSBB yang dilakukan Pemerintah Indonesia, yang secara praktis dikombinasikan denngan karantina mandiri yang dilakukan pada saat PSBB diterapkan (Mei, 2020). Membuat permasalahan ekonomi baru, karena terhalangnya aktivitas ekonomi yang biasanya dijalankan masyarakat akibat Pembatasan, sehingga membuat pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab atas tersendatnya kegiatan ekonomi dikarenakan PSBB dengan cara memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang kurang mampu, terdampak PSBB, dan pemerintah harus tepat sasaran dalam memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Kesimpulannya pada saat pandemi COVID-19 mulai masuk ke Indonesia, pemerintah sedikit kurang cepat tanggap dalam melaksanakan penanggulangan virus ini yang membuat kasus COVID-19 betambah dan juga pelanggaran HAM meningkat. Seperti, masalah HAM kesehatan terhadap masyarakat dan tenaga medis seperti peristiwa tidak cukup dan memadainya Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis dan juga rapid test yang bisa dibilang cukup mahal untuk kalangan ekonomi rendah, kelalaian menyampaikan privasi orang yang terjangkit COVID-19, sampai permasalahan tentang hak pekerjaan masyarakat dimasa pandemi.
Pemerintah harusnya sudah mempersiapkan dan memprediksi apa yang akan terjadi ketika COVID-19 ini datang ke indonesia. Pemerintah sendiri mungkin akan sangat kesulitan untuk menyelesaikan permasalahan HAM yang terus bertambah ini, setidaknnya pemerintah harus mencari cara agar masalah HAM dan COVID-19 ini dapat terselesaikan. Harapannya pemerintah, masyarakat dan tenaga medis berkerja sama dalam mempercepat pandemi COVID-19 ini, dan juga harapannya pemerintah dapat lebih peduli dan tepat sasaran dalam memberikan bantuan kepada masyarakat ekonomi rendah dan masyarakat yang terkena imbas dari COVID-19 ini.
Baca juga:
- Risiko Korupsi Pengadaan Publik (Public Procurement) di Masa Pandemi
- DPR, Etika, Omnibus Law dan Pandemi COVID-19
- Pandemi COVID-19 dan Pelanggaran HAM
- Penanganan COVID-19 Memicu Pelanggaran HAM?
- Urgensi Penegakan Hukum dan HAM Terhadap Pembela HAM Selama Pandemi COVID-19
- Herd Immunity Sebagai Pelanggaran HAM di Masa Pandemi COVID-19?
- Keterkaitan Force Majeure Akibat COVID-19 dalam Kontrak Perjanjian
- Kehidupan Hukum Indonesia: Dilema COVID-19
- Maraknya Perkawinan di Bawah Umur Saat Pandemi Covid-19
- Maraknya Kriminalitas di Tengah Bencana Pandemi COVID-19, Mengapa?