Kedua, fenomena ini menarik untuk dicermati melalui aspek penegakan hukum. Terkait dengan ini, Lawrance M. Friedman menggagas beberapa faktor yang bertalian erat dengan penegakan hukum sebagai berikut:
- Legal Substance, substansi hukum merupakan produk peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum sekaligus pedoman dalam penegakan hukum itu sendiri.
- Legal Structure, struktur hukum di sini mengacu pada aparat penegak hukum yang memiliki tugas menjalankan dan menegakkan hukum sesuai ketentuan norma hukum.
- Legal Culture, budaya hukum adalah kesadaran hukum masyarakat dalam mematuhi serta menjalankan ketentuan hukum.
Lantas, apa relasi antara legal substance, legal structure, dan legal culture terhadap fenomena diskriminasi rasial berikut upaya perampasan ruang hidup masyarakat adat? Pada konteks ini, dapat dijelaskan bahwa substansi hukum yang ada, sudah selayaknya bersifat aspiratif terhadap kehendak masyarakat. Berkenaan dengan ini, perkenankan saya menyitir pernyataan Ulpianus: iuris praecepta sunt haec honeste vivere, alterum non-laedere, suum cuique tribuere, yang terjemahan bebasnya kira-kira “perintah hukum adalah hidup jujur, tidak merugikan sesama manusia, dan setiap orang mendapat bagiannya”.
Memang benar kita memiliki Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta Undang-Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tapi masalah berikutnya, apakah norma hukum yang ada tersebut diikuti dengan komitmen serius para aparat penegak hukum dalam mengawal tegaknya keadilan?
Saya kira tidak akan ada kesepakatan dalam hal ini ketika para penegak hukum tidak dibekali dengan integritas yang kuat. Di samping itu, masyarakat sebagai pihak yang memberi mandat, memiliki hak serta kewajiban dalam melakukan pengawasan untuk menyuksesi tegaknya hukum. Jimly Asshiddiqie menandaskan bahwa Indonesia dibangun di atas konstitusi kemanusiaan. Sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradab” demikian menjadi fondasi sekaligus filosofi bangsa untuk memanusiakan manusia Indonesia seluruhnya. Oleh sebab itu, faktor penegakan hukum memiliki urgensi tersendiri yang tidak dapat dikesampingkan.
Apabila ketiga prasyarat tersebut secara ideal dapat terpenuhi maka konflik rasial seharusnya dapat diredam sedemikian rupa. Ketika masyarakat menjiwai rasa toleransi dan disaat yang sama hukum beserta komponennya bertindak sebagaimana mestinya hampir pasti “identitas” yang berbeda tidak akan menyulut api pergolakan.