Dalam spektrum lainnya, jaminan konstitusi atas HAM cenderung tidak dibarengi dengan political will dan political action yang serius dari pemerintah. Memiliki konstitusi sebagai dasar hukum tertinggi, bukankah sepatutnya bangsa Indonesia melindungi hak-hak fundamental setiap warga negara dan bukan balik menindas dan menjadikan kelompok minoritas maupun masyarakat adat sebagai tumbal atas kerakusan segelintir elite?
Mengenali Akar Masalah Diskriminasi Rasial
Tidak dapat dimungkiri, menguatnya arus diskriminasi rasial menjadi satu di antara sekian persoalan mendasar di Indonesia. Sepanjang perjalanan bangsa Indonesia, baik sebelum dan sesudah reformasi bahkan sampai saat ini pun narasi berbau suku, agama, ras, antargolongan atau SARA masih kental mewarnai kehidupan multikultural di tanah air.
Bersamaan dengan itu, tatanan hukum yang ada belum mampu seutuhnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat akan perlindungan hukum dari segala bentuk diskriminasi. Di antara bentuk-bentuk tindakan diskriminatif sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis meliputi:
- Memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau
- Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
- Membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain;
- Berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
- Mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau
- Melakukan perampasan nyawa orang, penganiaayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.
Dalam tataran praksis, tindakan diskriminatif yang terjadi mungkin saja lebih kompleks daripada sekadar uraian di atas. Namun demikian, tidak ada alasan yang dapat disepakati untuk membenarkan pembedaan ras dan etnis. Sebab hal tersebut mengantarkan konsekuensi logis berupa tercerabutnya kebebasan dasar individu sebagai manusia mereka sebagaimana ditegaskan Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara dalam semangat persaudaraan”.
Pada ranah ini, paling tidak, terdapat satu dua hal dapat diidentifikasi terkait mencuatnya diskriminasi rasial. Pertama, nilai luhur “toleransi” yang secara gradual mulai memudar. Pada prinsipnya, sikap toleran merupakan modal dasar dalam menjaga keharmonisan di tengah majemuknya perbedaan. Akan tetapi, faktanya seiring dengan perkembangan zaman tak jarang perbedaan yang ada justru dimaknai secara negatif dan mencederai esensi kebhinekaan.