Sila pertama dari ideologi kehidupan Negara Republik Indonesia yang tertuang ke dalam Pancasila merupakan “Ketuhanan yang Maha Esa”. Menurut Ir. Soekarno, Indonesia merupakan suatu negara yang mengakui keberadaan banyak sistem kepercayaan. Mendetilkannya dalam pidato di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1960, kepercayaan-kepercayaan tersebut termasuk Mohammadens (Islam), Christians (Nasrani), Buddhists (Buddha), dan those of no religion (Ateis).
Bapak Proklamasi Indonesia juga melanjutkan bahwa dengan 85% dari 92 Juta penduduk Indonesia (pada saat itu) menganut kepercayaan Islam, dengan mempertimbangkan keberagaman yang bersatu dari Bangsa Indonesia, Kepercayaan kepada Tuhan dijadikan suatu filosofi kehidupan Negara. Individu atau kelompok yang tidak menganut agama pun juga dikatakan untuk mengakui bahwa kepercayaan kepada kekuatan yang lebih tinggi merupakan karakteristik dari negaranya.
Sebagaimana dikatakan oleh Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila merupakan landasan umum dari suatu tatanan hukum undang-undang dasar atau staatsfundamentalnorm. Mengikuti pernyataan ini, Jimly Asshidique menyatakan pula bahwa ide-ide dalam pancasila harus mempengaruhi pembentukan hukum positif Indonesia sebagai suatu batu uji, dimana Jazim Hamidi menambahkan bahwa Staatsfundamentalnorm memiliki posisi hukum tertinggi dalam suatu tatanan hukum positif.
Posisi dari Sila Pertama Pancasila dalam hukum positif Indonesia yang dikemukakan oleh kedua sarjana hukum terkemuka ini terefleksikan dalam Pasal 61 dan 64 dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang mengharuskan pencantuman agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia atau pengosongan bagi penghayat kepercayaan.
Lalu bagaimana dengan individu atau kelompok yang memiliki kepercayaan atau agama yang tidak diakui oleh Pemerintah Indonesia? Pada tahun 2016 Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa penganut kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan dalam kolom agama di KTP-nya. Putusan ini telah membiarkan penganut kepercayaan untuk lebih jauh menghayati kepercayaannya dalam hitam di atas putih – pencatatan sipil. Tentunya, putusan ini tidak datang tanpa wajah mengerut dari organisasi-organisasi keagamaan. Majelis Ulama Indonesia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bernomor 97/PUU-XIV/2016 ini karena telah menyejajarkan kedudukan agama dengan aliran kepercayaan.