Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya telah menginstruksikan seluruh Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk menggelar persidangan secara daring atau online. Setidaknya hingga 29 Juni 2020, telah digelar 95.600 sidang perkara secara online. Namun dalam prosesnya tentu hal ini tidak mudah mengingat banyak faktor yang berperan dalam penyelenggaraan persidangan.
Menurut Burhanuddin, koneksi jaringan internet yang lambat di remote area termasuk juga daerah pelosok seringkali menganggu kelancaran sidang. Kecakapan sumber daya manusia (SDM) dalam mengoperasikan peralatan atau aplikasi untuk proses sidang daring juga belum tentu sama di setiap daerah.
Lewat telekonferensi, keberadaan terdakwa atau saksi-saksi tidak dapat dihadapkan secara langsung. Tentu ini bisa menyulitkan para jaksa penuntut umum serta majelis hakim dan penasihat hukum untuk bisa menggali fakta-fakta yang sebenarnya. Belum lagi persoalan barang bukti yang terkadang tidak dapat diakses secara detil. Ia pun mendorong diterbitkannya aturan mengenai standardisasi persidangan daring atau online karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengakomodasi pemeriksaan persidangan melalui daring.
Saat diskusi virtual bertajuk ‘’Sistem Peradilan Pidana di Masa Kahar’’ baru-baru ini, juga disampaikan bahwa koordinasi Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dengan pihak terkait seperti pengadilan, kepolisian, rumah tahanan (rutan) atau lembaga permasyarakatan (lapas), serta advokat harus dilakukan untuk memenuhi protokol kesehatan.
Kejaksaan turut mewajibkan rapid test terhadap terdakwa sebelum dititipkan di rutan. Ketentuan ini juga berlaku bagi terpidana sebelum dieksekusi ke lapas. Protokol kesehatan mesti dipatuhi kepada pengawal tahanan, sipir, tim administrasi tersangka atau terdakwa, serta saksi dan ahli. Mereka harus melengkapi diri dengan masker, sarung tangan, hand sanitizer, dan vitamin.