Sedangkan yang dimaksud PKPU pada dasarnya tidak termuat secara definitif dalam UU Kepailitan dan PKPU, akan tetapi menurut Pasal 222 ayat (2) menyatakan bahwa, “Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat membayar utang-utanganya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohonkan PKPU dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagain atau seluruh utang kepada kreditor”.
Mana yang Didahulukan antara Pailit dengan PKPU?
Menurut ketentuan Pasal 229 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa, “Apabila permohonan pernyataan pailit dan permohonan PKPU diperiksa pada saat yang bersamaan, pemohonan PKPU harus diputuskan terlebih dahulu”. Selanjutnya dalam ayat (4) pasal ini menyatakan bahwa, “Permohonan PKPU yang diajukan setelah permohonan pailit yang diajukan terhadap debitor, agar dapat diputus telebih dahulu sebagaimana yng dimaksud pada ayat (3) dan wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit”.
Mengapa menurut ketentuan diatas permohonan PKPU baik yang diperiksa bersamaan atau setelah adanya permohonan pailit akan didahulukan? bukankah seharusnya setiap pihak baik kreditor maupun debitor memiliki hak yang sama dalam memohonkan pailit atau PKPU? Mengutip pendapat Jerry Hoff dalam bukunya yang berjudul, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia (hal. 9-10), menyatakan bahwa, salah satu tujuan utama UU Kepailitan dan PKPU adalah memberikan kesempatan kepada para pelaku usaha untuk mereoganisasi perusahaanya yang sakit tetapi masih memiliki potensi, bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitor dalam setiap kegiatan usahanya. Hal ini yang kemudian melahirkan asas kelangsungan usaha dalam penjelasan UU Kepailitan dan PKPU, asas ini mengisyaratkan bahwa pelaku usaha sebagai debitor dimungkinkan menjalankan perusahaanya, yang masih memiliki prospek atau potenisal untuk tetap dilangsungkan atau dipertahankan.