Apa yang ada dibenak kebanyakan dari kita tatkala menengok praktik kehidupan hukum di Indonesia dewasa ini? Tentu kita akan membayangkan sebuah negara hukum yang demokratis, di mana keadilan bagi tiap-tiap warga negara terjamin seutuhnya. Akan tetapi, pada praktiknya, hukum dengan segala printilan produk legislasi dewasa ini justru mengisyaratkan hal sebaliknya. Sulit dibayangkan memang, Indonesia yang mengaku sebagai negara hukum (rechtsstaat), setidaknya demikian yang tertera dalam konstitusi pada kesempatan berikutnya malah memberikan kepastian setengah hati.
Argumentasi demikian agaknya tidak berlebihan mengingat realitas pahit kehidupan hukum di negeri ini yang hampir pasti selalu dikaitkan dengan ketimpangan relasi. Belum lagi ketika menyoal kelompok minoritas dan secara khusus masyarakat adat, ekspresi yang tampil untuk mewakili mereka tidak jauh-jauh dari kata “marginal” dan “terbelakang”. Lambat laun kedaulatan kelompok minoritas dan masyarakat adat semakin ternegasikan lantaran merajalelanya tindakan diskriminatif yang tidak jarang berujung pada pelanggaran HAM.
Pengalaman mantan komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai yang adalah putra daerah Papua dan di lain kesempatan, perampasan ruang hidup masyarakat adat suku Auyu, Yeinan, dan Mpur di mana masing-masing mendiami Kabupaten Merauke, Digoel, dan Tambrauw di Papua dan Papua Barat seperti dipotret oleh Greenpeace Indonesia paling tidak menggambarkan dengan konkret bahwa tendensi diskriminasi rasial masih tumbuh subur di penjuru nusantara.
Ironisnya, dari masa ke masa, sebagian tindakan diskriminatif tidak hanya menyasar keselamatan individu melainkan juga kepentingan komunal. Apabila arus diskriminasi rasial ini terus menguat, “kesetaraan” bagi etnis minoritas di Bumi Cendrawasih akan menjadi utopia belaka ketika dihadapkan dengan hukum. Bukan tanpa alasan, karena selama ini kelompok minoritas dan masyarakat adat yang berasal dari wilayah timur Indonesia lazim dikonsepsikan secara “berbeda”. Sementara itu, masyarakat adat yang diberkati dengan kekayaan alam di wilayah adatnya sampai saat ini harus berhadapan dan tidak jarang harus memasang badan untuk melindungi apa yang seharusnya menjadi hak mereka dari jarahan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Apabila pengalaman sebagaimana di atas ditarik dalam sudut pandang hukum dan HAM, maka yang demikian itu sudah barang tentu tidak sejalan dengan prinsip pengakuan dan penghormatan HAM. Padahal, kita ketahui bersama bahwa konstitusi pada Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dengan gamblang mengamanatkan “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.