Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau lebih dikenal sebagai UU ITE merupakan produk hukum yang telah disusun rancangannya sejak Maret 2008 dan secara resmi disahkan sebagai peraturan perundang-undangan pada April 2008. Pada awalnya, UU ITE dibuat sebagai upaya menjamin kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik dan untuk mengatur internet sebagai tempat yang ramah dan aman, namun hal yang terjadi malah bertolak belakang dari nilai ideal pembuatan UU ITE tersebut.
Hal tersebut dikarenakan sejak awal memulai debutnya UU ITE dinilai sangat kontroversial sebab diduga telah bertolak belakang dengan salah satu adagium hukum yang berbunyi “Ubi Societas Ibi Justicia” yang berarti “dimana ada masyarakat dan kehidupan disana ada hukum (keadilan)”, dikarenakan menurut fakta yang beredar di lapangan telah terjadi menjamurnya kasus dari berbagai pihak yang melakukan praktik saling lapor dengan didasarkan UU ITE untuk menjerat pihak yang bersebrangan dengan dirinya.
Hal ini terjadi karena dalam UU ITE tersebut mengandung pasal-pasal yang dinilai multitafsir dan disebut sebagai “pasal karet” yang dinilai sulit untuk menjadi alat pencipta keadilan tetapi mudah menjadi alat pembungkam bagi masyarakat.
Menurut data yang dilansir dari Southeast Asia Freedom of Expression Network atau SAFEnet, sepanjang debutnya sejak tahun 2008 hingga tahun 2019 telah tercatat 285 kasus pemidanaan dengan jeratan UU ITE, kemudian angka tersebut terus bertambah dengan pesat pada tahun 2020 karena Pandemi Covid-19 yang memaksa hal-hal yang normalnya terjadi diluar jaringan (offline) menjadi di dalam jaringan (online).
Di samping itu, Pandemi Covid-19 juga mendorong tinginya intensitas penggunaan media sosial pada kehidupan sehari-hari yang menyebabkan media sosial bertransformasi menjadi wadah politik yang menghapus batas-batas kesopanan dalam berekspresi dan menjadikan wadah tersebut sangat rawan terhadap jeratan UU ITE. Sifat anonimitas dalam media sosial atau di dunia maya merupakan salah satu faktor yang membuat orang berlomba-lomba untuk menggunakan UU ITE dalam menyerang pihak yang tidak mereka sukai tanpa perlu merasa bertanggungjawab terhadap hal yang telah dia perbuat.
Telah tercatat kurang lebih sebanyak 326 total akumulasi kasus terkait UU ITE sejak 2008-2020 dan mayoritas pelapor melaporkan pihak lain dengan jeratan pasal tentang ujaran kebencian dan pasal tentang pencemaran nama baik.
“Pasal Karet” merupakan senjata paling ampuh yang terkandung didalam UU ITE, khususnya pasal pencemaran nama baik, seluruh lapisan Penduduk Indonesia tak hanya rakyat yang awam, pejabat pemerintahan pun menggunakan senjata ini untuk membungkam lawan bicaranya jika dirinya tak terima dikritik ataupun memiliki perbedaan persepsi.