Kata ‘’omnibus law’’ menjadi pembicaraan yang hangat akhir tahun 2019 di Indonesia. Bermula saat Presiden Joko Widodo setelah pelantikan, beliau menyatakan bahwa Indonesia memerlukan omnibus law untuk mengatasi tumpang tindih regulasi, khususnya yang menghambat investasi dan pertumbuhan lapangan pekerjaan.[1] Regulasi yang dimaksud dalam konsep ini merupakan undang-undang baru yang mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus.[2] Metode ini diperlukan dalam mengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkesan menghambat pertumbuhan ekonomi dan progresivitas hukum di Indonesia, maka pemerintah memanfaatkan metode ini untuk dapat mempermudah pemberlakuan regulasi yang tidak tumpang tindih, salah satunya di bidang investasi dan perdagangan (sektor berusaha).
Penyelarasan peraturan dalam bidang investasi dan perdagangan ini untuk bisa memberikan kemudahan dalam memulai usaha di Indonesia dan menciptakan lapangan kerja yang banyak. Dalam masa pandemi Covid-19 ini, terdapat banyak perusahaan yang berhenti beroperasi hingga bangkrut yang menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan secara drastis.
Pendekatan Omnibus Law dalam upaya memudahkan dalam memulai usaha di Indonesia dinilai sebagai suatu langkah yang tepat untuk bisa mempersiapkan hukum Indonesia setelah pandemi Covid-19 usai. Terutama dalam kondisi race to the bottom yang menjadi perlombaan bagi negara-negara di dunia. Race to the Bottom adalah suatu perlombaan yang terjadi pada negara-negara berkembang yang masuk ke pasar global di masa globalisasi ini.[3] Esensinya adalah perdagangan dan investasi internasional akan lebih mudah beralih ke negara-negara berbiaya rendah (mulai dari sumber daya hingga upah buruh) ketika nantinya negara tersebut telah terintegrasi dalam perekonomian dunia.[4]
[rml_read_more]
Untuk menarik suatu investasi luar negeri, negara-negara yang membuka pasar bebas akan melonggarkan peraturan ketenagakerjaan, lingkungan, pajak, dan beberapa kebijakan sosial lainnya. Inilah dasar mengapa terjadi Race to the Bottom. Omnibus Law dapat menjadi suatu solusi dalam upaya pemerintah agar dapat menarik FDI untuk mempersiapkan kekuatan ekonomi dan payung hukum seusai pandemi.
Metode Omnibus Law dianggap sebagai suatu alat reformasi hukum yang dapat memberi perubahan besar pada tatanan hukum sebelum masa pandemi dan setelahnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan dan perlu untuk dijawab adalah Apakah Omnibus Law sudah tepat untuk diberlakukan di Indonesia dan Bagaimana masa depan hukum di Indonesia pasca pandemi Covid-19 dengan diberlakukannya metode Omnibus Law?
Metode Omnibus Law secara teknis dan persiapan administrasi pasti jauh lebih sulit dibandingkan harus membuat suatu undang-undang tentang aspek tertentu. Hal ini dikarenakan Omnibus Law mengharmonisasikan undang-undang yang saling tumpang tindih. Contohnya adalah UU Cipta Kerja yang berisikan 11 klaster, 15 bab, dan 174 pasal. Pembentukan UU ini setidaknya merombak 1.203 pasal dari 79 Undang-Undang yang ada, yaitu UU Ketenagakerjaan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan lain-lain.[5] Seperti apa yang telah dijelaskan, masalah utama dari peraturan di Indonesia adalah adanya tumpang tindih regulasi yang menyebabkan disharmoni dan over-regulated yang bisa jadi berbeda antara peraturan dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Data dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan bahwa terdapat sebanyak 10.180 regulasi yang diterbitkan dari 2014 hingga November 2019 yang terdiri dari 131 undang-undang, 526 peraturan pemerintah, 839 peraturan presiden, dan 8.684 peraturan menteri.[6] Sehingga akan menyebabkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat secara luas, khususnya kebijakan ekonomi yang saat ini sengat dibutuhkan. Persiapan kebijakan ekonomi dan payung hukum yang jelas akan memberikan kepastian hukum terhadap sektor berusaha setelah pandemi Covid-19 berakhir. Apabila disharmonisasi ini tidak diselesaikan maka akan terdapat banyak permasalahan, yaitu ketidakpastian hukum, implementasi dari substansi perundang-undangan menjadi tidak efektif dan efisien, munculnya perbedaan pemahaman dalam suatu substansi peraturan, hingga tidak berfungsinya hukum sebagai suatu pedoman masyarakat.
Maka, jika kita melihat pemerintah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan konsep omnibus law merupakan langkah yang tepat agar tidak terjadi saling tumpang tindih regulasi. Disisi yang lain pihak yang menentang atas rencana ini dikarenakan UU Cipta Kerja adalah suatu upaya menghilangkan legitimasi hak-hak setiap sektor kehidupan bangsa terutama menyangkut tentang Ketenagakerjaan dan sektor lain yang dapat terpengaruh akibat keberlakuannya.[7] UU ini hadir untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam peningkatan iklim investasi di Indonesia karena permasalahan regulasi. Berdasarkan data dari World Bank, indeks kemudahan berusaha di Indonesia menunjukan penurunan dari 10 indikatornya.
Oleh karena itu, Omnibus Law merupakan suatu solusi yang sangat diperlukan pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan masa depan Indonesia selepas pandemi Covid-19 dan berpartisipasi dalam race to the bottom. Metode Omnibus law yang diterapkan UU Cipta Kerja harus bisa menjawab seluruh permasalahan yang terjadi di Indonesia dan yang terpenting adalah dapat diimplementasikan sebagai bentuk terobosan hukum. Apabila diperhatikan, maka metode Omnibus Law ini dapat diterapkan di Indonesia sebab permasalahan yang sering terjadi adalah konflik peraturan di penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadikan banyak peraturan perundang-undangan yang berbenturan antara substansi yang diatur di berbagai macam instrumen hukum lainnya (semisal putusan MK, Perpres, dan lain-lain). Pemanfaatan metode ini berguna untuk bisa mengurangi persoalan kriminalisasi pejabat negara. Sebagai contoh, terdapat banyak pejabat pemerintah yang tidak berani menggunakan diskresi dalam setiap pengambilan kebijakan dalam proses penggunaan anggaran berdasarkan UU Administrasi Pemerintah sebab apabila terbukti membawa kerugian bagi negara maka dapat dijerat dengan UU Tipikor.[8]
Daftar Pustaka
Davies, R.B. and Vadlamannati, K.C. (2013). A race to the bottom in labor standards? An empirical investigation. Journal of Development Economics, 103, pp.1–14.