Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berdiri dimulai sejak dibentuknya Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) oleh Presiden pada tanggal 29 Agustus 1945. 12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Gedung Kesenian, Pasar Baru Jakarta. Tanggal peresmian KNIP (29 Agustus 1945) dijadikan sebagai Tanggal dan Hari lahir DPR RI.
Kode Etik Dewan Perwaklian Rakyat adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal itu karena menyadari bahwa kedudukannya sebagai wakil rakyat sangat mulia dan terhormat. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa, negara, masyarakat, dan konstituennya dalam melaksanakan tugas yang diamanatkan.
DPR dan Omnibus Law
Istilah omnibus law pertama kali muncul dalam pidato pertama Joko Widodo setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia untuk kedua kalinya. Saat itu, Presiden Jokowi mengungkapkan rencananya mengajak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Kita lupa bahwa omnimbus law ini pengalaman pertama kita dan ini bukan UU biasa. Ini adalah UU luar biasa karena mereduksi 1000 lebih pasal dalam 78 UU. Jika ada yang bilang bahwa teknikal itu tidak penting itu salah. Apalagi idenya ingin sinkronisasi, penyederhanaan, pemangkasan, regulasi, kemudian ingin menjawab tantangan terbesar soal penyediaan lapangan pekerjaan, dan ingin Indonesia keluar dari negara penghasilan menengah.
Akhirnya omnibus law banyak menerima pertentangan dari masyarakat karena isinya yang di nilai merugikan kaum buruh dan menguntungkan investor. Omnibus law menerima pertentangan dari masyarakat bukan hanya karena isinya, tetapi waktu pembentukannya yang dinilai tidak tepat karena di bentuk dan di sahkan pada saat pandemi COVID-19.
Adanya sikap yang tidak pantas yang diperlihatkan oleh Puan Maharani selaku Ketua DPR saat mematikan mikrofon rekannya saat sedang berbicara dengan alasan bahwa waktu sudah habis untuk berbicara. Padahal rekan Puan Maharani sudah bilang jika dia hanya ingin berbicara 1 menit. Kode etik inilah yang tidak pantas dilakukan oleh DPR. Kita tidak dianjurkan untuk work from home (WFH) tapi tidak disangka-sangka anggota DPR membentuk undang-undang baru secara diam-diam dan dipublikasikan saat undang-undang itu akan disahkan. Bahkan rapat pembentukan UU dilakukan tengah malam saat semua orang sedang tidur.
Beberapa pasal yang banyak menerima pertentangan dari masyarakat:
- Kontrak tanpa batas (Pasal 59). Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.
- Hari libur dipangkas (Pasal 79). Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, dipangkas, dan masih banyak pasal lagi yang menerima pertentangan dari masyarakat.
Anggota DPR merupakan Pejabat Negara. Apabila anggota DPR tidak mencerminkan perilaku yang baik. Hal tersebut merupakan salah satu jenis pelanggaran berat Kode Etik. Terhadap pelanggaran kode etik tersebut dilakukan upaya penindakan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) berdasarkan peraturan DPR yang mengatur mengenai tata beracara MKD.
Penutup
Anggota yang dinyatakan melanggar Kode Etik dikenai sanksi berupa: sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis. Sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DP, atau sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian sebagai Anggota.
Sanksi yang diberikan tergantung hasil keputusan MKD. Berdasarkan jenis sanksi yang diberikan, tidak terdapat jenis sanksi berupa denda, tetapi akibat pelanggaran berat kode etik, bisa saja MKD memutuskan untuk memberikan sanksi berupa pemberhentian sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR.
Dalam kasus ini sebaik nya kode etik terhadap DPR harus lebih di perhatikan lagi agar tidak terjadi kesewenag wenang an terhadap pembuatan undang-undang di masa yang akan mendatang. Agar tidak terulang kejadian yang sama seperti masa kini kita harus mempelajari lebih dalam apa itu kode etik atau etika profesi hukum.
Baca juga:
- Risiko Korupsi Pengadaan Publik (Public Procurement) di Masa Pandemi
- DPR, Etika, Omnibus Law dan Pandemi COVID-19
- Pandemi COVID-19 dan Pelanggaran HAM
- Penanganan COVID-19 Memicu Pelanggaran HAM?
- Urgensi Penegakan Hukum dan HAM Terhadap Pembela HAM Selama Pandemi COVID-19
- Herd Immunity Sebagai Pelanggaran HAM di Masa Pandemi COVID-19?
- Keterkaitan Force Majeure Akibat COVID-19 dalam Kontrak Perjanjian
- Kehidupan Hukum Indonesia: Dilema COVID-19
- Maraknya Perkawinan di Bawah Umur Saat Pandemi Covid-19
- Maraknya Kriminalitas di Tengah Bencana Pandemi COVID-19, Mengapa?