Politisi, Akademisi, Mahasiswa, dan berbagi profesi lainnya. Turun ambil andil menyampaikan suaranya di media sosial. Dibalik mudahnya media penyalur suara ini ada hal lainnya yang harus di pertimbangkan lagi. Mengingat ada UU lagi yang mengatur yaitu pasal 27 ayat 3 UU ITE yabg berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Selanjutnya pasal 28 ayat 2 UU ITE menyatakan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Dalam kedua pasal ini sudah di jabarkan bahwasannya tidak boleh mengujarkan kebencian atau mengkritik . Lantas mengapa Indonesia masih di anggap demokratis? Dan Bagaimana rakyat bisa berpendapat, disaat aturan semakin hari semakin banyak? . Ini salah satu mundurnya demokrasi di Indonesia dan dapat berpotensi untuk kepentingan politisi .
Disini penulis bukti nyata terhadap kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, yaitu pembubaran ormas FPI. Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi masyarakat yang di didirikan beberapa tokoh penting seperti ulama. Pembubaran FPI mendefinisikan turunnya indeks kebebasan berpendapat di Indonesia. Pemerintah berasumsi FPI salah satu ormas radikal dan harus di kondisikan. Alasan lainnya penulis berasumsi demikian, karena UU Ormas sudah ada, namun pembubaran FPI Tanpa mekanisme yang jelas.
Dalam UUD 1945 menjelaskan bahwasanya Indonesia adalah negara hukum dan menjamin keamanan kebebasan berpendapat atau berserikat. Pemerintah beralasan di balik pembubaran FPI karena FPI banyak melanggar hukum, anggota terlibat dalam beberapa tindakan teorisme dan lainnya. Dibalik alasan pemerintah, yang penulis sayangkan kenapa eksekutif langsung menyatakan pembubaran padahal belum ada peradilan untuk pembubaran FPI sendiri. Semoga kasus ini dapat kembali di perhitungkan pemerintah agar tidak terjadi pembubaran tanpa mekanisme yang tidak jelas.
Salah satu ancaman terbesar dalam sistem demokrasi ialah politik. Karena tak sedikit politisi yang tidk suka di kritik oleh semua orang. Kadang mereka terafilisiasi dalam satu forum untuk mendiskriminasi suatu lawan atau oposisi dari politisi itu sendiri. Sudah sewajarnya politisi inisiatif untuk menegangkan marwah demokrasi ,indentitas demokrasi dan stop kriminalisasi terhadap lawan politik. Hukum dan UU sudah bibuat dengan banyak pertimbangan ,banyak meminta tanggapan dan pandangan. Kalau memang takut sebaiknya jangan berkedok dengan mengkerdilkan seseorang.
Penulis terpukau dengan salah satu pernyataan dari pengamat politik Indonesia, yaitu Rocky Gerung tentang Jokowi minta di kritik, beliau menuturkan: “Jadi seolah-olah bilang silakan kritik, oke, anda boleh ngomong. Omongan anda dijamin oleh kebebasan, tapi setelah anda ngomong kami tidak jamin kebebasan anda, kira-kira begitu. Setelah ngomong kebebasannya ditunggu oleh UU ITE, ditunggu oleh Bareskrim,”
Pemerintah seharusnya mampu merealisasikan dan melakukan tindakan persuasif untuk kebebasan berpendapat . Karena negara indonesia besar luas jangan hanya membuat UU yang mendukung kebebasan. Namun, juga ambil andil untuk meyakinkan masyarakat tentang negara Indonesia adalah negara yang bebas berekspresi dan di jamin kebebasan tersebut.