“Kalau ada sengketa dalam pemilihan kepala desa yang berkaitan dengan pidana, suap misalnya, harus dibawa ke Pengadilan Negeri (PN) dulu, baru setelah turun putusan pengadilan (PN) bisa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menganulir SK pelantikan (jika paslon sudah dilantik), jadi putar-putar dan belum tentu berhasil, itu yang membuat lama”
-Gugun El Guyanie
Dalam tulisan ini akan dipaparkan mengenai alternatif solusi penyelesaian sengketa pemilihan kepala desa, yakni melalui Peradilan ad hoc Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Desa.
Semua undang-undang berlaku umum, tak terkecuali UU Desa. Menurut F.R. Bohtlingk kata “berlaku umum” mengandung beberapa konsekuensi yang salah satunya adalah “umum” dapat berhubungan dengan subyek hukum yang terkena norma hukum tersebut, yakni tidak boleh bersifat individual karena kebenaran, alias, berlaku untuk semua orang (J.H.A. Logemann, Het Westbegrip in Nederland, 1966: 19-20). Kaitannya dengan UU Desa, Pasal 37 Ayat (6) UU Desa secara gamblang menyebut “Bupati/Walikota” yang sejatinya bersifat individual, bukan komunal atau semua orang.
Hal ini menimbulkan kekeliruan penafsiran, seperti hanya Bupati/Walikota-lah satu-satunya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa ini. Fatalnya, Bupati/Walikota dianggap sebagai penyelesai sengketa, yang mana urusan tersebut merupakan bagian dari fungsi instansi yudikatif/ lembaga peradilan, bukan eksekutif.
Bupati/Walikota merupakan pelaksana fungsi eksekutif di daerah tidak semestinya diserahi tugas untuk menyelesaikan sengketa. Maka seharusnya, dengan melihat sifat uu yang berlaku secara umum, penyebutan “Bupati/Walikota” yang termuat dalam UU Desa tidak serta merta dimaknai bahwa Bupati/Walikota saja-lah yang dapat menyelesaikan sengketa, melainkan juga instansi lainnya yang memiliki kedudukan sejajar. Artinya, sah-sah saja apabila dibentuk lembaga peradilan khusus atau ad hoc untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa.
Legalitas Penyelesaian Sengketa Pemilihan Kepala Desa melalui Peradilan Ad hoc
Pasal 10 Ayat (2) huruf b UU No. 23 tahun 2014, mengatur mengenai urusan pemerintahan absolut yang hanya dapat dipegang oleh Pemerintah Pusat, salah satunya meliputi bidang yustisi atau peradilan. Sekalipun bersifat absolut, Pemerintah Pusat dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada pemerintah daerah provinsi melalui gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.