Strict liability sendiri sebenarnya dapat berlaku dalam pertanggungjawaban pidana maupun perdata. Namun dalam Pasal 88 UU PPLH, di dalam penjelasannya dijelaskan bahwa Pasal ini atau strict liability hanya berlaku dalam menggugat korporasi untuk membayar ganti rugi maupun melakukan perbaikan atau pemulihan.
Ketentuan ini dapat menjadi ‘senjata’ untuk memaksa korporasi melakukan ganti rugi materiil (rehabilitasi ekosistem dan kompensasi pada korban) serta imateriil (misalnya, bantuan konseling pada korban yang kehilangan mata pencaharian atau trauma akibat bencana yang disebabkan kerusakan lingkungan).
Dihapus dalam UU Cipta Kerja
Meskipun ketentuan tentang Strict liability dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi perusak lingkungan terhadap kerusakan yang ditimbulkannya, namun pembuat Undang-Undang tampaknya memiliki pandangan lain. Sehingga, sebagaimana sudah disinggung pada judul tulisan ini, ketentuan strict liability dihapus dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pasal 88 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang Cipta Kerja diubah menjadi:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”. Terdapat penghapusan frasa ‘tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan’ menjadi “bertanggung jawab mutlak”. Penghapusan frasa tersebut merancukan pemaknaan ‘strict liability’ pada pasal ini.
Penghilangan unsur ini dikhawatirkan dalam praktik peradilannya mempersulit pengoperasian sistem pertanggungjawaban ini, di mana pembuktiannya kembali konvensional dengan mewajibkan kepada si Penggugat untuk membuktikan unsur kesalahan, baik sengaja ataupun lalai terhadap pelaku usaha perusak lingkungan. Hal ini selanjutnya berisiko membebaskan korporasi perusak lingkungan dari pertanggungjawaban. Dan otomatis menghilangkan perlindungan bagi masyarakat korban kerusakan lingkungan.
Parahnya, setelah ditelusuri, pembuat Undang-Undang juga keliru dalam mengajukan alasan penghapusan ketentuan strict liability yang mana menggunakan alasan seolah-olah ketentuan ini dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 berlaku dalam penjatuhan sanksi pidana. Ini menunjukkan tidak matangnya pembahasan dan penyusunan yang merevisi 74 Undang-Undang ini. Kekeliruan tersebut terlihat dalam naskah akademik, di mana dipaparkan alasan penghapusan frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” adalah “karena setiap pidana harus dijatuhkan karena adanya pembuktian.”
Hal ini merupakan bentuk sesat pikir, karena dalam penjelasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 juga di praktiknya, strict liability hanya diterapkan dalam sanksi perdata, bukan pidana. Pembuat Undang-Undang keliru dalam memaknai strict liability itu sendiri dan mengubahnya dengan alasan demikian adalah gegabah dan berisiko bagi penegakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan juga masyarakat sebagai korban dari kerusakan tersebut.
Penutup
Strict Liability telah lama diadopsi dalam hukum dalam negeri maupun luar negeri. Konsep penjatuhan sanksi ini bertujuan untuk mencegah korporasi dan subjek hukum bukan manusia lainnya lepas dari tanggungjawab berupa sanksi. Tanpa ketentuan strict liability, akan sulit memintai korporasi bertanggungjawab untuk mengganti rugi maupun memperbaiki kerusakan yang diakibatkan kegiatannya.
Dengan menghapus ketentuan ini, Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang membawa semangat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan pekerjaan sebesar-besarnya telah keliru dalam memandang hal ini sebagai langkah untuk memberikan kenyamanan berusaha yang dapat menguntungkan masyarakat luas.