Pada saat ini semua partai politik tentu sedang berkonsentrasi menyusun tema, substansi, strategi, serta slogan kampanye pemilu. Selain isu-isu politik, ekonomi, dan sosial, salah satunya pasti menyentuh kampanye hukum, yaitu bagaimana mereka akan menentukan kebijakan hukum pemerintahan mereka bilamana mereka kelak memenangkan pemilu dan menjadi penguasa baru.
Beberapa parpol mungkin mengerti betul prioritas reformasi dan penegakkan hukum kita. Beberapa parpol gamang dengan apa yang mereka akan perbuat bila berkuasa kelak mengingat kompleksitas persoalan hukum dan institusi hukum serta kondisi penegakkan hukum kita. Beberapa parpol lainnya sama sekali buta tentang apa yang akan mereka lakukan. Dan beberapa parpol mengerti betul agenda, prioritas dan rencana aksi reformasi dan penegakkan hukum. Tetapi sebaliknya, mereka tahu pasti bahwa bila itu efektif, justru akan menghancurkan pola kekuasaan dan kelakuan koruptif di masa lalu maupun sekarang.
[rml_read_more]
Parpol hendaknya menyadari bahwa apapun hasil pemilu nanti, peta politik Indonesia tidak akan banyak berubah. Siapapun pemenangnya, tidak akan mungkin menjalankan pemerintahan dengan kuasa atau mayoritas mutlak. Sangat mungkin bahwa pemerintahan pasca pemilu akan merupakan pemerintahan koalisi lagi. Pilihan-pilihan menjadi terbatas pada koalisi-koalisi yang pasti melibatkan partai Islam, partai nasionalis dan partai eks-orde baru yang masing-masing punya beban dan persoalan sendiri.
Apakah masih ada partai reformasi?
Ini menjadi tanda tanya besar mengingat partai-partai yang mengaku partai reformasi dan bahkan mempunyai fraksi reformasi di DPR, ternyata gagal menuntaskan agenda reformasi selama 5 tahun terakhir ini. Kompromi-kompromi tadi bisa sangat melemahkan kampanye hukum yang sudah terlanjur mereka luncurkan ke publik selama masa kampanye pemilu.
Disini parpol-parpol seharusnya dituntut untuk menyiapkan program, rencana aksi dan selanjutnya disusul langkah-langkah nyata, yang mencakup: Pertama, pembuatan atau endorsemen secara detil atas program-program yang sudah ada, yang mencakup reformasi hukum positif yang menyangkut kebijakan publik yang selaras dengan konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku lainnya. Sehingga, harus dibuat pemetaan dan kerangka hubungan yang jelas antara kebijakan publik yang akan dilahirkan dengan konstitusi dan peraturan perundangan yang sudah ada. Kalaupun konstitusi dan peraturan perundangan yang sudah ada tidak mendukung kebijakan publik yang rasional, pro rakyat dan mendukung good governance, maka tidak diharamkan untuk mengamandemen konstitusi dan mengubah peraturan perundangan yang sudah ada.