Kedua, pembuatan peta keterkaitan pola reformasi hukum positif dengan perjanjian-perjanjian internasional dimana Indonesia terikat, termasuk kerja sama dan perjanjian regional, perjanjian dengan negara-negara dan badan-badan donor. Bilamana ternyata ada suatu ketimpangan hubungan transaksional atau ketidak adilan terhadap Indonesia, harus ada suatu program penata-ulangan hubungan-hubungan tadi secara terukur.
Ketiga, pembersihan dan penguatan badan-badan yudisial harus dibarengi dengan perbaikan dan transparansi sistim pendidikan, sistim recruitment, sistim remunerasi, sistim promosi karir atas dasar merit, dan alokasi anggaran belanja yang cukup dijamin dalam APBN, disamping konsisten dengan civil service reform yang sekaligus juga berjalan serempak.
Keempat, masalah manajemen reformasi untuk tiga poin penting diatas, bukan main pentingnya. Sehingga jelas siapa yang menjadi champion dari proses tersebut, siapa yang mengawasi dan siapa yang terus melakukan dorongan-dorongan secara konsisten agar agenda-agenda tersebut dapat di deliver dengan pasti, terukur dan tepat waktu.
Kelima, penyelesaian kasus-kasus BLBI yang merusak sistim perbankan dan perekonomian untuk jangka waktu yang lama memerlukan ketegasan dan kehati-hatian karena erat kaitannya dengan pembangunan kembali sistim-sistim yang sudah rusak tersebut, sensitivitas pasar, dan rasa keadilan dari rakyat yang sudah terpaksa harus menanggung beban karena kerusakan-kerusakan tersebut. Sehingga, pemilahan industri atau bidang usaha atau pelaku usaha mana yang harus ditindak tegas dan dihukum, dan mana yang perlu dibangkitkan kembali harus dilakukan segera dan sekaligus dengan tuntas. Keterlambatan dan ketidak-tegasan penanganan hal ini hanya menambah kerusakan dan menyengsarakan rakyat lebih jauh lagi.
Keenam, penanganan korupsi tidak bisa main-main lagi, dan KPK harus didukung penuh, diperkuat dan dilengkapi dengan peraturan perundangan yang lebih menjamin keberhasilan pelaksanaan tugasnya (misalnya UU Perlindungan Saksi). Pemilihan pimpinan KPK oleh DPR beberapa waktu yang lalu dan pemberian anggaran yang minim oleh pemerintah, merupakan suatu gejala yang bisa dikatakan tidak mendukung pemberantasan korupsi. Selain penindakan, prioritas utama harus diberikan untuk menghentikan korupsi saat ini juga dan membangun budaya anti korupsi di segala tingkatan birokrasi dan dunia usaha. Partai politik punya peran besar dalam membangun budaya anti korupsi dan melaksanakan fungsi pengawasan tersebut.