PPHN tidak hadir untuk membuka peluang impeachment. Sebab, PPHN dipraktikkan ketika kedudukan Presiden setara dengan MPR dalam sistem pemerintahan presidensiil. PPHN tidak mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, tidak pula mengubah sistem presidensial menjadi parlementer.
Implikasi Yuridis PPHN: MPR Bukan Lembata Tertinggi Negara
Dalam membentuk haluan negara, menjadi suatu keniscayaan bagi MPR untuk menjadi lembaga tertinggi negara. Hal ini berkiblat pada praktik di masa lalu yang menempatkan MPR selaku lembaga tertinggi negara dan Presiden sebagai lembaga tinggi negara. Praktik GBHN dirasa efektif, karena GBHN disusun dan ditetapkan oleh MPR, dilaksanakan oleh Presiden, diawasi dan dievaluasi oleh MPR itu sendiri. Bahkan tidak menutup kemungkinan pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN tidak diterima oleh MPR. Dalam kaitannya dengan pembahasan PPHN, problem pertama yang mesti dibahas adalah, saat ini kedudukan MPR sejajar dengan Presiden, keduanya sama-sama sebagai lembaga tinggi negara. MPR masih mungkin diberi kewenangan menetapkan PPHN, namun Presiden tidak bertanggungjawab terhadap MPR. Sebab, arah negara saat ini berjalan dalam koridor sistem presidensial, bukan parlementer.
Pola hubungan kelembagaan antara Presiden dengan MPR dalam penyusunan PPHN yang mungkin terjadi adalah: 1) PPHN disusun secara bersama-sama oleh Presiden dan MPR, layaknya Presiden bersama DPR menyusun uu; atau 2) PPHN disusun oleh MPR saja, selaku satu-satunya lembaga yang berwenang. Adapun untuk penetapan/pengesahan dilakukan oleh MPR melalui produk hukumnya, TAP MPR. Untuk pelaksanaannya, PPHN dapat mengikat: 1) presiden saja, karena akan diwujudkan dalam RPJMN 5 atau 10 tahunan sekali; 2) semua lembaga negara dan elemen masyarakat, karena PPHN akan benar-benar menjadi haluan negara yang wajib dijadikan pedoman semua elemen negara dari pusat-daerah dan harus parisipatif dengan melibatkan seluruh warga negara Indonesia. Untuk pengawasan, dapat dilakukan dengan: 1) mengadopsi SPPN, dilakukan oleh masing-masing pimpinan kementrian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah (vide Pasal 28 UU 25/2004); 2) menggunakan fungsi pengawasan DPR, dengan menolak atau meminta penyesuaian terhadap RAPBN yang diajukan Pemerintah jika tidak sesuai dengan PPHN.
MPR Berwenang Menetapkan TAP yang Mengatur Keluar, Terbatas pada PPHN
Hasil kajian MPR memilih TAP MPR sebagai produk hukum yang tepat dalam mengatur PPHN. Beberapa alasannya diantaranya, kedudukan TAP MPR lebih kuat daripada uu, tidak dapat di judicial review ke MK, dapat dijadikan batu uji dalam pengujian undang-undang baik terhadap UUD maupun terhadap TAP MPR itu sendiri, prosedur perubahan lebih mudah. Hadirnya TAP MPR sebagai wadah haluan negara sekilas mirip dengan GBHN di masa lalu. Dimana, MPR dapat mengeluarkan dua jenis TAP. Pertama, TAP yang bersifat menetapkan (beschikking) yang umumnya bersifat individual, kongkrit, dan final. Kedua, TAP yang bersifat mengatur (regeling) yang umumnya bersifat umum, abstrak, dan berlaku terus menerus (einmahlig).
Pasca amandemen, kewenangan MPR untuk mengeluarkan TAP dihapuskan. Kini, MPR hanya berwenang mengeluarkan TAP sebatas bersifat penetapan, misalnya untuk menetapkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih dan bersifat mengatur ke dalam (intern regel) seperti berkaitan dengan tata kelola lembaga MPR itu sendiri. Jika hendak mengeluarkan TAP MPR yang berisi PPHN, MPR menambah kewenangannya melalui mekanisme amandemen UUD 1945. Perubahan tsb dapat memberi batasa bahwa, MPR hanya dapat mengeluarkan TAP MPR dalam rangkan pengaturan PPHN. Sehingga limitasi ini jelas dan tidak membuat abuse of power di masa mendatang.
Tercipta Check and Balances antara Presiden dengan MPR
Pasca amandemen ke-4 UUD, dua hal yang menjadi sorotan utama adalah, penguatan Presiden dan pelemahan terhadap MPR. Presiden dikatakan kuat, karena memiliki kewenangan eksekutif, legislatif, dan yudisial, beberapa hak veto, Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen, mekanisme impeachment diubah dari yang semula politis menjadi ketat dengan prosedural hukum, dsb. MPR dikatakan lemah karena dua kewenangan utamanya dicabut. MPR tidak dapat mengeluarkan TAP yang bersifat mengatur keluar, MPR juga tidak dapat menetapkan haluan negara. Tidak hanya itu, Presiden bukan lagi mandataris MPR. Implikasinya, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara.
Meski demikian, amandemen ke-4 nampaknya telah lupa merumuskan pola koordinasi antara MPR dengan Presiden. Kedudukan yang sejajar ini menuntut Presiden dan MPR saling mengimbangi dan koordinasi yang sejalan dengan prinsip check and balances system. Melalui PPHN ini, hubungan kelembagaan antara Presiden dan MPR dapat dibangun kembali dalam rangka mewujudkan PPHN sebagai haluan pembangunan nasional negara.
Skema Pelaksanaan PPHN
Jika PPHN hadir dalam ketatanegaraan Indonesia, implikasinya adalah: 1) terhapuskannya SPPN sebagai pedoman pembangunan nasional; 2) peleburan SPPN dengan PPHN. Arah politik negara saat ini menghendaki opsi kedua, inilah yang akan dirincikan penulis. PPHN akan menempati posisi haluan negara yang konsisten yang tidak mudah berubah. PPHN menggantikan posisi RPJP dalam sistem SPPN saat ini. PPHN nantinya akan diatur secara lebih lanjut dengan RPJMN yang disusun oleh Presiden berdasarkan visi-misinya. Yang membedakan adalah, sistem pengawasannya yang dilakukan melalui pranata hak budget parlemen, dimana Presiden dalam rangka menyusun RAPBN yang akan mebiayai seluruh kebutuhan negara selama satu tahun anggaran, jika dalam penyusunannya tidak memperhatikan PPHN, DPR dapat menolak RAPBN dan meminta Presiden untuk menyesuaikan kembali dengan PPHN. Perbedaan kedua terletak pada sistem pengawasannya. Pengawasan dilakukan melalui fungsi pengadilan, dimana jika terdapat peraturan perundang-undangan, baik uu maupun peraturan dibawahnya, tidak sesuai dengan TAP MPR dapat dibatalkan keberlakuannya oleh lembaga pengadilan (MK).