Di masa orde baru, GBHN disebut juga repelita atau rencana pembangunan lima tahunan. Dasar hukumnya adalah TAP MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN. GBHN difahami sebagai haluan negara tentang pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat setiap lima tahun. GBHN ini pelaksanaannya dituangkan dalam pokok-pokok kebijaksanaan pelaksanaan pembangunan nasional yang ditentukan oleh Presiden.
Di masa reformasi, GBHN dibentuk berdasarkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004. GBHN difahami sebagai haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk lima tahun guna mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. GBHN tahun 1999 – 2004 yang ditetapkan oleh MPR dalam Sidang Umum majelis Permusyawaratan Rakyat 1999, harus menjadi arah penyelenggaraan negara bagi lembaga-lembaga tinggi negara dan segenap rakyat Indonesia
Di masa sekarang, haluan negara menggunakan konsep yang benar-benar baru yang bernama Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Pedoman teknokratis ini diatur berdasarkan UU 25/2004 tentang SPPN, UU 17/2007 tentang RPJPN Tahun 2005-2025, dan Perpres tentang RPJMN, yang disusun berdasarkan Visi dan Misi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Desain Ideal PPHN: PPHN Tidak Bisa Diuji oleh MK, Tetapi Bisa Jadi Batu Uji
PPHN merupakan haluan negara yang menuntut penyelenggaraan pemerintahan negara. Lembaga peradilan, dalam hal ini MK, tidak memiliki kewenangan untuk menguji haluan negara terhadap peraturan diatasnya (UUD NRI 1945). Hal ini disebabkan: 1) MK tidak memiliki cukup legitimasi demokrasi. Haluan negara ditetapkan oleh lembaga legislatif yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sedangkan hakim MK hanya dipilih oleh 3 lembaga negara (DPR, Presiden, MA). Ketiga lembaga yang memilih MK itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, maka legitimasi MK hanya sebatas lembaga yang tidak dipilih secara langsung oleh rakyat; 2) haluan negara sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan negara tidak dapat dibatalkan oleh fungsi yudisial. Alasan pertama, MK adalah negative legislator, sedangkan MPR adalah positive legislator. MK hanya bewenang menafsirkan norma, bukan membuat norma. Alasan kedua, haluan negara bukan ranah MK. MK tidak mungkin menguji haluan negara yang telah tertuang dalam TAP MPR terhadap UUD. Penafsiran MK akan mengubah arah kebijakan yang telah disepakati di haluan negara. Atas alasan tersebut, PPHN tidak bisa diuji oleh MK.
PPHN dapat dijadikan batu uji, karena TAP MPR yang memuat PPHN bersifat regeling. Artinya, PPHN merupakan norma yang dapat dijadikan batu uji terhadap norma-norma lainnya. Dalam praktik kenegaraan, PPHN akan dijadikan dasar pembuatan peraturan yang baru atau dasar penyesuaian aturan yang lama agar sejalan dengan PPHN. Dalam pelaksanaannya nanti, pasti terjadi penyimpangan norma yang berakibat tidak atau kurang terpenuhinya hak warga negara. Jika hal ini terjadi, maka peraturan tsb dapat diuji terhadap TAP MPR PPHN.
PPHN Bukan Sarana Impeachment terhadap Presiden
Impeachment atau pemakzulan Presiden merupakan prosedur kudeta konstitusional terhadap Presiden. Status quo, impeachment diatur dalam Pasal 7A UUD NRI 1945. Impeachment dapat dilakukan jika Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Impeachment disini dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, impeachment akibat Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden, yakni jika presiden tidak menjalankan kewajibannya dalam melaksanakan PPHN sebagaimana mestinya. Impeachment jenis ini dijalankan prosedur status quo sebagaimana tertuang dalam Pasal 7A. Kedua, impeachment terjadi dengan tidak diterimanya laporan pertanggungjawaban Presiden dalam melaksanakan PPHN. Impeachment ini dekat dengan nuansa GBHN di masa lalu, dimana Presiden BJ Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR yang kemudian penolakannya itu ditetapkan dalam TAP MPR III/MPR/1998. Impeachment jenis ini menggabungkan pertanggungjawaban Presiden selaku kepala negara secara umum dan pelaksana PPHN.