Hasilnya cukup efektif dan lebih efisien. Mahasiswa yang berkepentingan langsung berkirim email dan melampirkan dokumen yang dibutuhkan. Atau, mereka menunggu balasan atau berkirim pesan kembali saat hari dan jam kerja.
Namun demikian, setelah sekian lama berjalan, saya merasa semakin ada kejanggalan.
Keterampilan berkirim email
Awalnya, saya berpikir banyak mahasiswa perlu memiliki keterampilan dalam berkirim pesan. Saya merasa agak janggal setelah menerima email, khususnya dari mahasiswa bimbingan lomba maupun mahasiswa yang berkeperluan untuk Turnitin. Ternyata, masih banyak mahasiswa yang tidak tahu cara menggunakan email. Seringkali, mahasiswa menganggap sama dalam berkirim pesan dan email.
Saya menilai mereka memang belum tahu cara menggunakan email. Keterbatasan pengetahuan ini sehingga saat berkirim email seringkali seperti ini:
- Berkirim email tanpa subject dan tanpa isi. Mereka hanya melampirkan attachment.
- Berkirim email dengan menuliskan keperluannya pada subject. Hasilnya, judul email panjang banget.
- Berkirim email dengan bahasa chatting.
- Berkirim email kosong.
- Berkirim email dengan bukan nama email dirinya, pinjam email temannya.
- Berkirim email dengan nama email alay, misal: nandacute@gmail.com, jefry112467@gmail.com.
Oh iya. Ada juga mahasiswa setelah berkirim email kemudian konfirmasi ke saya. Mereka melampirkan bukti email tertulis email yanh salah. Email saya muhd.bahrul@unej.ac.id, sedangkan mereka mengirimkannya ke muhd.bahrul@gmail.co.id. Saran saya, periksa kembali alamat email, untuk memastikan kita sudah mengetiknya dengan benar.
Saat memasuki dunia kerja
Praktik seperti di atas jamak terjadi. Saya berpikir, tidak lama lagi mereka akan memasuki dunia kerja. Mereka akan kasihan apabila model komunikasinya masih seperti ini. Dunia kerja menuntut kita berkomunikasi secara profesional. Mereka mungkin akan merasa bingung dan kesusahan saat harus berkomunikasi dengan kolega dan atasa di kantor. Mereka juga akan punya tantangan besar saat harus membangun kerja sama dengan pihak eksternal.
Sedari sekarang, mahasiswa perlu refleksi dua hal. Pertama, mahasiswa perlu memeriksa kembali cara berkomunikasi jelas dan efektif dalam berkirim pesan. Kedua, mahasiswa perlu belajar cara berkirim email yang sesuai dengan standarnya. Sebetulnya, isi email sudah lazim kita pelajari saat berkirim surat, meskipun juga isinya terkadang lebih fleksibel.
Baca juga artikel menarik lainnya yang ditulis oleh Muhammad Bahrul.
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Tulisan dapat berbentuk opini, esai ringan, atau tulisan ringan lainnya dari ide-idemu sendiri. Ingin tulisanmu juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.
Saya sebagai user di dunia pekerjaan mengalami ini setuju dengan Mas Muhammad. Banyak dari lulusan jaman now sepertinya belum memahami etika berkorespondensi melalui email. Mungkin dipikirnya email seperti halnya SMS, tanpa subject aman, atau seperti link Drive yg tanpa mengirimkan maksud dan tujuan pesan langsung diklik attachmentnya maka penerima langsung “mudheng”/ paham dengan isi emailnya. Ini saya alami sendiri ketika membuka lowongan enumerator studi, dimana banyak sekali anak muda yang mendadak mengirimkan email kosong tanpa subject dan isi, namun menyisipkan lampiran didalamnya. Lampirannya pun, kadang tidak bernama, hanya bertulis ‘Document 1’. Dengan email bejibun yang dadakan masuk sekitar 30 buah per harinya selama periode lamaran dibuka, coba tebak apa yang saya lakukan? Seleksi alam! Saking banyaknya yang tidak menuliskan badan email, saya mensortir email2 yg tidak bersubject saja, jumlahnya 80 persen dari total email masuk perharinya. Bayangkan, bukankah sangat sayang kalau kualifikasi raihan yang baik selama kuliah, harus kalah hanya karena menyepelekan ‘subyek’ dan ‘badan email’, sesuatu yang bisa dipelajari. Karenanya Mas Dosen, saran saya, ketika ada mata kuliah akademic writting, jurusan/prodi perlu juga membakali skill ini supaya sudah terbiasa sedini mungkin. Jaman saya kuliah dulu (10 tahun lalu) mata kuliah ini hanya fokus mengajari bagaimana menulis ilmiah secara standar akademik, namun abai menjelaskan tatakrama komunikasi tertulis via email. Ketika pertama kali bekerja, saya juga melakukan kesalahan yg sama dengan kawan2 muda ini, mengirimkan email tanpa badan dan hanya subyek, dan seketika ditegur oleh supervisor saya. Beruntungnya beliau tanggap mengajari saya berkirim pesan yang baik, sehingga bisa saya perbaiki. Jadi Mas Dosen, monggo direkomendasikan sisipan materinya ini, mudah2an kekhawatiran kita bersama berhenti di generasi ini saja.