Kemajuan teknologi informasi telah berpengaruh pada pola hubungan sosial. Dua dekade yang lalu, perangkat komunikasi mulai mengenal kiriman pesan singkat atau short message service (sms). Lalu, berkembang pada penggunaan aplikasi chatting seperti Yahoo Messenger hingga dikenal WhatsApp. Saat ini, terdapat banyak aplikasi chatting yang dapat kita gunakan. WhatsApp dan Instagram adalah dua aplikasi sosial media yang mewakili banyak aplikasi lainnya dan paling populer di kalangan kaum muda.
Polemik pola komunikasi
Kehadiran ragam aplikasi tersebut seringkali melahirkan kesenjangan dalam pola komunikasi. Layanan komunikasi yang instan dan dapat meningkatkan efisiensi ini sering dianggap mengesampingkan nilai dan tata krama masyarakat.
Kita pasti masih ingat. Tidak begitu lama, mungkin satu atau dua tahun lalu, dunia kampus agak geger tentang etika mahasiswa dalam berkomunikasi ke dosen. Banyak kampus menyusun tutorial tata cara berkomunikasi mahasiswa kepada dosen yang agak menggelitik. Rasanya, dalam tutorial tersebut seperti kembali mengajari materi-materi pelajaran kepribadian dan tata krama kepada anak-anak SD dan SMP.
Pada satu sisi, tutorial semacam ini seperti merendahkan kualitas mahasiswa yang secara fakta sudah menginjak usia dewasa dan memahami pola komunikasi yang baik dan beradab. Dengan tutorial ini, terkesan terdapat penurunan moral dan etika generasi mahasiswa sehingga kampus perlu ‘membuat peringatan’ dan petunjuk umum agar memahami nilai-nilai, etika dan tradisi yang berlaku.
Pada sisi lain, mahasiswa memang beragam. Ada mahasiswa yang sangat berhati-hati mengirimkan pesan, sampai bahasanya terasa kaku sekali. Ada juga mahasiswa berkirim pesan cukup fleksibel namun identitas dan substansinya cukup jelas. Ada pula mahasiswa yang berkirim seperlunya hanya menyampaikan kepentingannya tanpa menyebutkan identitasnya. Saat pesan sudah dijawab, mereka menjawabnya dengan kata singkat: “OK.” Mahasiswa udah kayak bos saja kan ya….
Ada juga catatan tambahan. Beberapa mahasiswa ada yang berkirim pesan pada jam kerja, ada juga yang berkirim pesan larut malam, tengah malam dan di luar hari kerja.
Permasalahan di atas tidak seharusnya terjadi. Padahal masalahnya sepele. Satu hal yang mendasari kenapa semua itu bisa terjadi adalah: bisa jadi mahasiswa kurang punya keterampilan berkomunikasi yang baik.
Praktik yang sering terjadi
Terdapat beberapa praktik yang dilakukan oleh mahasiswa saat berkirim pesan. Mari kita baca satu per satu satu.
Pertama, mengirimkan pesan tanpa menyebutkan identitas. Mungkin dikiranya identitas sudah tersedia di profil WA. Dosen diminta melihat nama dalam nomor WA dg klik profil. Saat profil dibuka, nama WA beragam, bahkan nama panggilan hingga nama Alay.
Perlu diingat bahwa semakin dewasa, semakin menuju dunia kerja, kita dituntut untuk dapat berkomunikasi lebih profesional. Oleh karena itu, percakapan yang baik adalah dengan memperkenalkan diri dengan baik terlebih dahulu. Lalu, kita sampaikan maksud kita mengirimkan pesan dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak memaksa. Gunakan kalimat efektif, tidak terlalu panjang, tidak terlalu singkat juga.
Saya selalu berusaha tidak merespon orang yang berkirim pesan tanpa menyebutkan identitas. Saat tidak dibalas, ada saja caranya. Siang hari saudaranya yang bekerja di kampus berkirim pesan ke saya agar tidak dipersulit. Atau, mahasiswa lapor ke dosen lain dengan bahasa agar saya tidak terlalu ruwet.
Saya sebagai user di dunia pekerjaan mengalami ini setuju dengan Mas Muhammad. Banyak dari lulusan jaman now sepertinya belum memahami etika berkorespondensi melalui email. Mungkin dipikirnya email seperti halnya SMS, tanpa subject aman, atau seperti link Drive yg tanpa mengirimkan maksud dan tujuan pesan langsung diklik attachmentnya maka penerima langsung “mudheng”/ paham dengan isi emailnya. Ini saya alami sendiri ketika membuka lowongan enumerator studi, dimana banyak sekali anak muda yang mendadak mengirimkan email kosong tanpa subject dan isi, namun menyisipkan lampiran didalamnya. Lampirannya pun, kadang tidak bernama, hanya bertulis ‘Document 1’. Dengan email bejibun yang dadakan masuk sekitar 30 buah per harinya selama periode lamaran dibuka, coba tebak apa yang saya lakukan? Seleksi alam! Saking banyaknya yang tidak menuliskan badan email, saya mensortir email2 yg tidak bersubject saja, jumlahnya 80 persen dari total email masuk perharinya. Bayangkan, bukankah sangat sayang kalau kualifikasi raihan yang baik selama kuliah, harus kalah hanya karena menyepelekan ‘subyek’ dan ‘badan email’, sesuatu yang bisa dipelajari. Karenanya Mas Dosen, saran saya, ketika ada mata kuliah akademic writting, jurusan/prodi perlu juga membakali skill ini supaya sudah terbiasa sedini mungkin. Jaman saya kuliah dulu (10 tahun lalu) mata kuliah ini hanya fokus mengajari bagaimana menulis ilmiah secara standar akademik, namun abai menjelaskan tatakrama komunikasi tertulis via email. Ketika pertama kali bekerja, saya juga melakukan kesalahan yg sama dengan kawan2 muda ini, mengirimkan email tanpa badan dan hanya subyek, dan seketika ditegur oleh supervisor saya. Beruntungnya beliau tanggap mengajari saya berkirim pesan yang baik, sehingga bisa saya perbaiki. Jadi Mas Dosen, monggo direkomendasikan sisipan materinya ini, mudah2an kekhawatiran kita bersama berhenti di generasi ini saja.