Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang tengah menjadi kekhawatiran dalam masyarakat. Siapapun dapat menjadi korban, baik perempuan maupun laki-laki, mulai dari anak hingga dewasa. Namun, ideologi gender dan nilai-nilai patriarki telah menyebabkan perempuan disubordinasikan bahkan menerima stereotip dalam kasus kekerasan seksual.
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, terdapat 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di tahun 2019. Angka ini naik sebesar 6% dari tahun 2018, yakni sejumlah 406.178 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 tercatat jumlah angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia adalah sejumlah 348.446 kasus. Dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun, diperlukan hukum positif yang mengatur secara tegas sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual yang memberikan perlindungan secara optimal kepada para korban.
Data Komnas Perempuan juga mencatat bahwa hanya sekitar 10% dari seluruh kasus kekerasan seksual setiap tahunnya yang diproses di kepolisian dan tidak lebih dari setengahnya yang divonis pengadilan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memerlukan payung hukum yang lebih komprehensif terhadap penanganan kasus kekerasan seksual, terkhusus hukum yang berperspektif pada perlindungan korban.
Sebenarnya, istilah kekerasan seksual tidak dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul. Perbuatan cabul dalam tersebut diatur dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai dengan Pasal 303). Menurut Soedarsono, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai sebuah tindakan atau intimidasi yang berhubungan dengan keintiman atau hubungan seksualitas yang dilakukan oleh pelaku terhadap korbannya dengan cara memaksa, yang berakibat korban menderita secara fisik, materi, mental maupun psikis.
Kejahatan kesusilaan secara umum merupakan perbuatan yang melanggar kesusilaan yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum atau dengan kata lain tidak atas kemauan si korban melalui ancaman kekerasan. Adapun KUHP hanya mengatur kekerasan seksual terbatas pada:
1. Pemerkosaan;
2. Penzinahan;
3. Pencabulan.
[rml_read_more]
Dapat kita lihat bahwa kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP belum sepenuhnya menjawab permasalahan yang muncul. Misalnya saja, terkait definisi pencabulan di dalam KUHP yang tidak terlalu jelas, sehingga sering kali pelaku yang telah melakukan pemerkosaan justru dituntut dengan kejahatan pencabulan. Definisi pemerkosaan yang dicantumkn dalam KUHP juga sangat sempit. Di Dalam KUHP disebutkan perkosaan sebagai tindakan memaksa seseorang melakukan persetubuhan artinya hanya sebatas ada penetrasi.