Jika unsur tersebut tidak dapat dipenuhi maka hal tersebut tidak dianggap sebagai pemerkosaan. Menurut penulis, KUHP saat ini belum cukup memberikan jaminan perlindungan serta pemulihan korban kekerasan. Ditambah lagi, ketentuan pembuktian sangat sulit untuk membuktikan adanya kasus kekerasan seksual. Sebab, dalam hukum acara juga relatif tidak berorientasi pada perlindungan hak korban.
Victim blaming, stereotip, dan stigma masyarakat
Kuatnya prasangka masyarakat umum bahkan aparat penegak hukum kepada korban (utamanya kepada kaum perempuan) dengan meletakkan kesalahan utamanya ada pada korban (blaming the victim) juga menjadi permasalahan dalam pengatasan tindak kekerasan seksual saat ini. Sebagai contoh, belakangan ini kita sempat dihebohkan dengan kasus yang tengah viral di Twitter, dimana terdapat karyawan Starbucks dengan sengaja mengintip payudara pelanggan (seorang perempuan) melalui CCTV. Namun jika kita amati dalam kolom komentar, justru banyak orang yang menyalahkan korban dengan alasan pakaian yang dikenakan. Seringkali stigma negatif dilayangkan kepada perempuan sekalipun Ia berposisi sebagai korban dan bukannya terfokus pada penuntutan pelaku atas perbuatannya.
Bak fenomena gunung es, sebagian besar korban kekerasan seksual juga tidak mau melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwajib. Dibuktikan dengan hasil survei daring pada tahun 2016 yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia, Magdalene.co dan Change.org yang menunjukkan sebanyak 93% penyintas kasus pemerkosaan tidak melaporkan kasus mereka ke kepolisian.
Hasil survei juga menunjukkan hanya 1 % dari 25.214 responden menyebutkan kasusnya dituntaskan secara hukum. Sementara lainnya menyatakan kasus mereka dipetisikan, tetapi pelaku justru dibebaskan, serta sejumlah kondisi yang dinilai tidak memihak korban. Mereka merasa takut dipersalahkan bahkan dipermalukan jika melaporkan kasusnya. Sehingga, korban merasa tidak mendapatkan akses keadilan dan perlindungan hukum secara layak.
Urgensi pengesahan RUU PKS
Dari serentetan permasalaahan yang terjadi, dapat kita pahami bahwa Indonesia memerlukan suatu pembaharuan hukum yang diwujudkan secara menyeluruh. Meliputi pengaturan tentang pencegahan terjadinya kekerasan seksual, bentuk-bentuk kekerasan seksual dan hak- hak korban. Selain itu, perlu diatur pula terkait pemulihan, hukum acara peradilan pidana kekerasan seksual, termasuk tentang pembuktian dan pemantauan penghapusan kekerasan seksual serta pemidanaannya.
Jawaban atas permasalahn-permasalahan penegakan hukum korban kekerasan seksual, utamanya bagi perempuan adalah melalui pengesahan Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). RUU ini mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum. Setidaknya diatur sembilan bentuk kekerasan seksual dalam RUU ini, antara lain:
1. Pelecehan seksual;
2. Eksploitasi seksual;
3. Pemaksaan kontrasepsi;
4. Pemaksaan aborsi;
5. Perkosaan;
6. Pemaksaan perkawinan;
7. Pemaksaan pelacuran;
8. Perbudakan seksual, dan;
9. Penyiksaan seksual.
Dapat kita lihat bahwa pengaturan terkait tindak kekerasan seksual dalam RUU PKS jauh lebih komprehensif serta memberikan akses keadilan yang lebih luas terhadap perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual dibanding dengan materi yang diatur dalam KUHP.