Dalam tulisan sebelumnya, penulis sempat membahas mengenai dilema penerapan sanksi pidana pada masa PPKM Darurat, sebagaimana sedang kita rasakan bersama ini. Setidaknya terdapat dua point yang telah penulis sampaikan dalam tulisan tersebut. Pertama, mengenai eksistensi hukum pidana sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Kedua, mengenai pentingnya sinkronisasi pola pikir mengenai rasa kemanusiaan baik dalam pembentukan kebijakan, eksekusi aturan hingga memaksimalkan upaya untuk membantu masyarakat terdampak yang sangat membutuhkan jaminan atas hak hidupnya.
Kedua point tersebut sejatinya merupakaan pengamatan dan telaah penulis pribadi atas betapa dilemanya menerapkan hukum pidana dalam masa PPKM, khususnya bagi pelanggaran hukum yang berkaitan dengan protokol kesehatan. Akan tetapi, hal lain yang penulis sadari ialah realitas yang terjadi saat ini. Bukan hanya mempertunjukkan “kegarangan” hukum pidana untuk menindak para pelanggar protkol kesehatan saja. Melainkan cenderung tindakan semena-mena dan tidak mengindahkan situasi serta nurani.
Mungkin ungkapan tersbeut cenderung terdengar ekstrem, setidaknya begitulah yang penulis rasakan saat melihat betapa massifnya penindakan pelanggaran protokol kesehatan menggunakan sarana penal atau sarana penghukuman. Baik itu melalui pidana penjara, denda, dan/atau kurungan. Seolah-olah seluruh tindakan yang berupa pelanggaran terhadap protokol kesehatan memiliki tingkat bahaya atau serius yang sama. Tanpa mempertimbangkan faktor lain serta niat dibalik tindakan tersebut.
Berbagai kritik dan himbauan bahwa mengedepankan sarana penal tidak akan menjadi solusi yang berkelanjutan. Dalam hal mengurangi pelanggaran protokol kesehatan telah banyak disampaikan. Bahkan kritik tersebut tidak hanya disampaikan oleh mereka yang memahami hukum saja, berbagai pihak mulai dari tenaga kesehatan, pebisnis hingga masyarakat umum pun berkata sama.
- Saat ini, kita dihadapkan pada realitas yang menyedihkan dimana seseorang yang berjuang bertahan hidup dengan kondisi yang begitu sulit, harus berhadapan dengan hukum yang tak ia kenal dan hanya terkesan satu hal “hukum yang begitu keras”. Lihat saja berapa kasus telah diputuskan oleh pengadilan dan justru mendapatkan kesan yang sangat buruk akan upaya penegakan hukum dalam beberapa waktu terakhir ini.
Kebijakan Kriminal dalam Usaha Menjaga Ketertiban Sosial
Realitas berbagai macam penegakan hukum selama PPKM ini, bahkan selama awal pandemi ini berlangsung. Khususnya penidakan para pelanggar protokol kesehatan pada prinsipnya memiliki tujuan untuk mencegah penyebaran virus Corona menjadi kian meluas. Sebuah tujuan yang pada hakikatnya telah bersesuaian dengan kebijakan umum penanggulangan pandemi. Jika dilihat berdasarkan aspek kebijakan kriminal yang memiliki tujuan sebagai upaya penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian integral dari upaya perlindungan publik (social defence), sekaligus upaya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Tujuan kebijakan kriminal sebagai dasar konseptual hukum pidana sangat jelas, yakni untuk melindungi serta mensejahterakan masyarakat. Melalui upaya pencegahan dan penanggulangan suatu kejahatan, upaya-upaya tersebut dapat diwujudkan melalui penggunaan sarana penal (hukum pidana) dan non penal (pencegahan tanpa pidana). Penggunaan sarana penal pun tidak bisa sembarang digunakan karena berkaitan dengan pelanggaran atas hak asasi manusia. Sehingga penggunaan sarana penal haruslah memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Keadilan dalam artian memenuhi rasa keadilan masyarakat yang didasarkan pada dinamika sosial, baik pada masa kini dan masa yang akan datang dalam penerapannya.
Kebijakan kriminal tersebut penting untuk dikontekskan dalam suatu sistem penegakan hukum. Bukan hanya dalam tahap pembentukan peraturan perundang-undangan saja, melainkan dalam tahap penerapan hukum pidana baik oleh pihak eksekutif maupun yudikatif. Oleh karena itu, aspek kebijakan kriminal harus dihubungkan dengan pendekatan nilai yang relevan dengan kondisi yang sedang dan diprediksi akan terjadi.
Efektivitas Sarana Penal dalam Penindakan Pelanggaran Protokol
Penggunaan sarana penal yang dilandaskan pada pendekatan nilai secara umum setidaknya diimplementasikan secara rasional dan mempertimbangkan efektivitas dari sanksi pidana itu sendiri. Mengutip pendapat Prof. Barda Nawawi Arief dalam salah satu bukunya, setidaknya terdapat tiga syarat penggunaan sarana penal, yakni: 1) penggunaan sarana penal tersebut dapat sungguh-sungguh mencegah; 2) tidak menyebabkan keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan daripada manakala pidana tersebut tidak dikenakan; dan 3) tidak ada sarana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan kerugian yang lebih kecil.
Ketiga syarat tersebut harus menjadi pijakan utama para perumus kebijakan serta aparat penegak hukum dalam menggunakan sarana penal. Melihat kondisi saat ini, yang mana sarana penal begitu dikedepankan. Padahal mulai banyak kepala daerah yang menghimbau agar tidak bergantung pada penggunaan sarana penal untuk mewujudkan ketertiban umum. Setidaknya marilah kita bersama menilai kondisi saat ini berdasarkan ketiga syarat di atas untuk melihat sejauh mana efektivitas sarana penal dalam menindak pelanggaran protokol.
Penilaian penulis menyimpulkan bahwa sarana penal menjadi tidak efektif manakala diterapkan secara menyeluruh terhadap segala jenis tindak pidana yang dikaitkan sebagai pelanggaran protokol. Baik itu yang diatur dalam KUHP, UU Wabah Penyakit Menular hingga UU Kekarantinaan Kesehatan. Dalam berbagai aturan yang ada, perlu secara jelas dirumuskan mana tindak pidana yang dapat diklasifikasikkan sebagai kejahatan atau pelanggaran. Karena kedua bentuk tindak pidana tersebut secara formulasi memiliki derajat bahaya atau seriusitas yang berbeda.
Kejahatan tentu memiliki tingkat seriusitas yang lebih tinggi daripada pelanggaran. Oleh karena itu, pilihan apakah menggunakan sarana penal pada kedua bentuk tindak pidana tersbeut haruslah ditimbang secara matang. Berdasarkan penilaian ketiga syarat di atas, pendalaman mengenai apakah sarana penal dapat mencegah tindak pidana lainnya muncul serta tidak menyebabkan keadaan makin chaos perlu diperhatikan dengan seksama. Ditambah pendekatan nilai atas keprihatinan situasi selama pandemi yang begitu menyulitkan banyak orang.
Oleh karena itu, baik perumus kebijakan maupun aparat penegak hukum harus mampu menilai secara proporsional mana yang perlu ditindak melalui sarana penal dan mana yang dapat ditindak melalui sarana non penal. Jika pencegahan kejahatan juga menjadi tujuan pemberlakuan hukum pidana. Maka menjadi penting untuk menilai berbagai bentuk pelanggaran yang ada dan setidaknya kemungkinan akan terjadi didasarkan pada tingkat seriusitasnya. Sehingga penggunaan sarana penal maupun non penal menjadi tepat sasaran dan tidak menyebabkan keadaan kian rumit. Setidaknya agar kepercayaan masyarakat terhadap hukum tetap sebagai alat untuk mencapai keadilan yang seluas-luasnya.