Pandemi Covid sebagaimana kita rasakan bersama dampaknya hingga hari ini terus mengganas, belum terlihat adanya tanda surut ombak wabah ini. Setiap pemerintahan di tiap negara memberlakukan kebijakannya masing-masing guna memaksimalkan upaya pencegahan penularan (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Tiap kebijakan tersebut tentu didasarkan pada kewajiban negara untuk menjamin hak atas kesehatan seluruh warga negaranya sekaligus mengupayakan semaksimal mungkin untuk menekan laju penyebaran Covid yang kian mengganas, hal yang sama juga Pemerintah Indonesia.
Salah satu bentuk kebijakan yang saat ini berlaku di Indonesia ialah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Covid di wilayah Jawa dan Bali. Kebijakan tersebut didasarkan pada Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 2021.
Tentunya jika berbicara soal segala macam aspek kebijakan dalam penanggulangan wabah Covid tidak bisa dilepaskan dari aspek penegakan hukum, serta lebih bijak dilihat juga dari sudut pandang sosiologis bukan normatif semata. Sejak awal penerapan kebijakan penanggulangan Covid di Indonesia sering menimbulkan gesekan konflik yang tidak terelekan.
Mayoritas masyarakat berada dalam posisi yang sulit di mana berbagai aktivitas yang menjadi modal melanjutkan hidup haruslah dibatasi. Di sisi lain bantuan dari pemerintah dinilai tidak sepadan dan bahkan tidak tepat sasaran. Bukan maksud untuk merendahkan usaha pemerintah, tetapi mari kita lihat bersama hal tersebut sebagai fakta sekaligus persoalan yang harus segera ditemukan solusi terbaiknya.
Kondisi serba sulit seperti ini mendorong pemerintah melalui aparat untuk mempertegas penertiban selama berjalannya PPKM. Sayangnya, tidak sedikit kasus yang justru memperlihatkan betapa runcingnya hukum diterapkan bagi mereka yang saat ini sedang begitu kesusahan. Berbagai berita viral mempertunjukkan hukum dijadikan moncong yang begitu menyeramkan untuk seolah-olah menghukum masyarakat yang tidak tertib, terutama penggunaan hukum pidana kurungan dan denda. Lantas, apakah hal demikian tepat dipergunakan selama PPKM ini?
Hukum Pidana sebagai Ultimum Remidium
Saya rasa bagi siapa saja yang pernah belajar tentang hukum pidana mengenal istilah ultimum remidium atau dapat diartikan sebagai upaya terakhir/obat terakhir. Yang berarti hukum pidana dalam kasus umum digunakan sebagai upaya terakhir dalam menindak suatu perbuatan yang dilarang. Sehingga bukan jadi asumsi belaka bila pidana sering dihubungkan dengan penghukuman, karena penghukuman tersebut seharusnya menjadi upaya terakhir untuk menertibkan seseorang. Di sisi lain, hukum pidana juga sering tidak mampu untuk mengatasi suatu pelanggaran hukum hingga ke “akarnya” atau dengan kata lain hanya mampu menindak gejalanya saja.
Konteks tersebut menjadi relevan manakala kita sandingkan dengan kondisi saat ini. Menurut pengamatan saya, akar persoalan masih banyaknya masyarakat yang belum tertib menjalankan PPKM adalah tidak adanya jaminan untuk melanjutkan hidup. Kembali lagi ini memang persoalan pelik, akan tetapi memang sebagaimana nyatanya demikian. Tidak adanya jaminan kehidupan membuat banyak orang nekat, di sisi lain ada juga faktor tidak sinkronnya pemahaman regulator dengan eksekutor di lapangan yang menyebabkan penindakan yang tidak sebagaimana seharusnya.
Pemahaman soal penggunaan pidana sebagai sarana penegakan PPKM haruslah dipahami sebagai upaya terakhir, bukan upaya pertama apalagi utama. Jika kita lihat seksama banyak yang memilih untuk menjalani pidana kurungan daripada denda karena mau bayar denda dari mana bertahan hidup saja susah. Prinsip ultimum remedium inilah yang benar-benar harus dipahami aparat di lapangan, ditambah rasa humanisme atas kelangsungan hidup bersama.
Semalam saya menonton salah satu konten di kanal Youtube Najwa Shihab, di sana perwakilan Satpol PP Bogor hingga Gubernur Ridwan Kamil sepakat terdapat diskresi dalam penegakan PPKM. Jadi tidak melulu langsung menggunakan pidana kurungan maupun denda. Dalam penentuan diskresi inilah para aparat di lapangan dituntut untuk memiliki rasa humanisme yang kuat terhadap penderitaan yang dialami sesama saudaranya.
Tuntas di Hulu maupun Hilir
Sebagaimana telah saya ungkapkan sebelumnya bahwa masih terdapat titik-titik ketidak sinkronan antara regulator dan eksekutor di lapangan. Hal yang sama ingin saya coba kritisi konsistensi keberpihakan kebijakan terhadap masyarakat luas. Bukan soal siapa yang paling keras dan paling tegas di lapangan, tetapi siapa yang paling bisa memberikan pemahaman dengan cara terbaik kepada masyarakat. Bahwa saat ini kita bersama memerlukan kekompakan untuk terus menekan ombak wabah ini.
Menurut hemat saya, pemerintah harus mengupayakan jaminan hidup yang lebih layak dan merata bagi masyarakat, serta konsisten dengen kebijakan yang telah dibuat. Sentimen tentang misal warga asing bisa masuk dan warga negara justru sengsara patut untuk dijadikan satu dari sekian persoalan yang justru dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Aparat sebagai pihak yang langsung terjun di lapangan juga harus bergerak berdasarkan niat untuk menolong bukan justru sebaliknya. Menolong dengan cara memperingatkan secara baik dan mengedukasi, bahwa kita bersama membutuhkan kekompakan agar pandemi ini segara usai. Terakhir, dalam hal proses litigasi tindak pidana ringan selama PPKM ini. Saya berharap para hakim dapat melakukan penemuan hukum yang lebih progresif dengan tidak mengedepankan pidana. Dalam artian dapat meluaskan alasan pemaaf yang lebih humanis bagi para pelanggar yang mungkin sebagian merupakan orang yang betul-betul terhimpit kondisinya. Jangan sampai hukum pidana yang seharusnya digunakan untuk mencegah serta menanggulangi kejahatan, justru memberangus kesempatan hidup orang.
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Ingin informasi lomba, webinar, call for papers atau acara kalian lainnya juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.