Dewasa ini, dengan perkembangan masyarakat yang begitu dinamis. Tak mengherankan menimbulkan berbagai fenomena yang baru di masyarakat, khususnya berkaitan dengan pernikahan. Yang salah satunya adalah nikah mut’ah atau Nikah dalam jangka waktu tertentu. Sementara, sebagian ahli ada yang menyebut nikah mut’ah sebagai nikah kondisional, usurfuct, nikah temporer, nikah muaqqat (kawin sementara waktu), serta nikah inqita’ (kawin terputus).
Pernikahan semacam ini agaknya menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat, terutama karena segolongan orang tertentu mengatasnamakan agama guna melegalkan pernikahan semacam ini.
Mut’ah berasal dari bahasa Arab yaitu Al-Tamattu’ yang artinya bersenang-senang. Sedangkan nikah mut’ah sendiri memiliki pengertian pernikahan yang dilakukan dalam waktu tertentu, dengan memberikan sesuatu hal tertentu, serta berakhir dalam waktu yang telah ditentukan tanpa adanya talaq.
Mengenai Istilah Kawin Kontrak yang umum digunakan di Indonesia, penulis cenderung sependapat dengan pendapat Prof. Abdul Ghofur Anshori tentang penggunaan diksi “kontrak” dalam istilah Kawin Kontrak dinilai kurang tepat untuk merepresentasikan artian nikah mut’ah. Untuk bisa menggunakan diksi kontrak dalam frasa kawin kontrak harus dipenuhi syarat sah perjanjian atau kontrak. Namun, dalam nikah mut’ah syarat sah perjanjian atau kontrak tersebut tidak dapat terpenuhi, yang mana syarat sahnya Perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu:
[rml_read_more]
a. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian;
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Pernikahan Mut’ah setidak-tidaknya tidak memenuhi poin adanya suatu sebab yang halal. Yaitu sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang atau sebab itu tidak bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.