Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sendiri secara implisit tidak menerima adanya nikah mut’ah. Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mendefinisikan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Undang-Undang Perkawinan memaknai tujuan perkawinan adalah sebagai sarana untuk membangun keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan Undang-undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam memaknai perkawinan sebagai ikatan yang sangat kuat (Mitsaqan Ghalidzan). Sementara itu, dalam nikah mut’ah keberlangsungan pernikahan hanya bersifat sementara waktu atau dalam jangka waktu tertentu.
Mengenai nikah mut’ah ini, keempat mahzab sepakat mengatakan pernikahan semacam ini adalah haram hukumnya. Walaupun dulu keberadaannya diperbolehkan oleh Nabi Muhammad SAW berdasarkan salah satu hadis yang artinya,
“Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami beperang bersama Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam dan saat kami tidak membawa istri. Maka kami berkata, Apakah kami boleh mengkebiri diri kami? Maka Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam melarang kami untuk melakukan hal itu. Lalu beliau memberi keringanan kepada kami setelah itu untuk menikahi perempuan dengan memberikan pakaian (sampai batas waktu tertentu). Kemudian Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam membacakan ayat (Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan hal-hal baik yang Allah Halalkan bagi kalian).” (HR. Bukhari)
Namun, dikemudian waktu pernikahan semacam ini diharamkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui salah satu hadis yang artinya,
“Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam melarang untuk menikahi perempuan dengan cara mut’ah pada hari khaibar dan melarang untuk makan daging keledai jinak” (HR. Bukhari)
Menurut Abdul Rahman Ghozali yang mengutip pendapat Al-Maqiriy mengatakan nikah mut’ah itu diperbolehkan pada zaman permulaan islam,tapi berdasarkan hadis-hadis yang shahih, hukum kebolehan nikah mut’ah itu di nasakh, karenannya tak ada dasar lagi untuk membolehkannya.
Beberapa fukaha seperti Imam Syafii, Abu Hanifah, dan Ibnu Umar misalnya mengharamkan nikah mut’ah dengan berpedoman pada Surah Al Mukminun ayat 5 dan 6. Kedua ayat tersebut mensyaratkan hubungan kelamin hanya diperbolehkan dengan istri atau istri-istri. Sedangkan terdapat alasan pasangan dalam nikah mut’ah tidak bisa berfungsi menjadi istri disebabkan:
a. tidak saling mewarisi
b. iddah nikah mut’ah tidak seperti Iddah Nikah biasa
c. nikah mut’ah tidak memnyebabkan berkuranganya hak seorang dalam hubungan dengan beristri empat.
d. dengan nikah mut’ah tidak dianggap seseorang menjadi muchsin. Hal ini karena dengan mengambil wanita melalui nikah mut’ah tidak menjadikan wanita itu sebagai istri maupun sebagai jariah.