ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya beserta ALSA National Chapter Indonesia menyelenggarakan webinar dengan tema Implikasi Kebijakan Larangan Ekspor Nikel Indonesia Terhadap Investasi dan Percepatan Kendaraan Bermotor Berbasis Baterai di Indonesia pada hari Kamis, 18 Maret 2021. Webinar ini merupakan rangkaian dari acara Seminar Musyawarah Nasional (SEMUNAS) yang diadakan pada tanggal 18 hingga 21 Maret 2021, dengan ALSA Local Chapter Universitas Sriwijaya sebagai tuan rumah dalam event tahun ini.
Webinar yang diadakan pada hari pertama SEMUNAS ini menghadirkan tiga narasumber, yakni: Prof. Dr. Ir. Irwandy Arif, M.Sc. (Staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral & Batubara Republik Indonesia), Dr. Irsan, S.H., M.Hum. (Akademisi Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya), dan Erwin Djajadiputra (Sales Director at PT Hyundai Motors Indonesia). Kemudian Webinar ini dimoderatori oleh Hj. Mardiana, S.H., M.H. (Assistant Professor In Faculty Of Law Universitas Sriwijaya & Secretary General II ALSA Indonesia 2001/2002).
Webinar ini dimulai pada 18 Maret 2021 pukul 09.30, dengan Irwandy Arif sebagai narasumber pertama yang menyampaikan materinya. Beliau menyatakan bahwa pada tahun 2019, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan produsen tambang bijih nikel terbesar di dunia, yaitu kurang lebih sebesar 800 ribu ton nikel dari total 2.668.000 ton produksi nikel dunia. Irwandy selanjutnya menjelaskan, adanya kebijakan pelarangan ekspor nikel di Indonesia juga disebabkan karena Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengusahaan dan Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya, pelarangan ekspor nikel Indonesia juga dilatarbelakangi oleh terbatasnya cadangan nikel, serta terus berkembangnya teknologi pengolahan nikel kadar rendah sehingga dapat dimurnikan di dalam negeri sebagai bahan baku baterai. Di sisi lain, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai merupakan amanah dari Presiden untuk mempercepat program produksi kendaraan listrik berbasis baterai.
Selanjutnya Irwandy menjelaskan latar belakang munculnya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 dan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai juga disebabkan oleh rencana pemerintah untuk menggantikan kendaraan berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik. Kemudian implikasi dari adanya kebijakan larangan ekspor nikel bagi Bangsa Indonesia adalah pembangunan fasilitas pemurnian nikel ditingkatkan, teknologi lithium ion battery (Li-ion battery) semakin berkembang di Indonesia, dan meningkatkan daya tarik investasi asing ke dalam negeri. Sedangkan implikasi bagi dunia internasional atas kebijakan ini ialah masuknya investasi Tiongkok pada perusahaan pemurnian nikel di Indonesia. Namun akibat kebijakan tersebut, muncul gugatan dari Uni Eropa kepada Indonesia
Selanjutnya Irsan mengatakan, adanya kebijakan pelarangan ekspor nikel di Indonesia didasari oleh terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan tersebut tentu memberikan kepastian hukum dan investasi bagi bagi pemegang IUPK, IUP, KK, dan PKP2B. Selain itu, dengan berlakunya peraturan tersebut kewenangan untuk mengelola mineral dan batubara menjadi tugas pemerintah pusat sepenuhnya. Irsan menambahkan, pada tanggal 28 Oktober 2019, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengumumkan dengan adanya kebijakan ini maka ekspor nikel Indonesia dihentikan. Selain itu, pada tanggal 12 November 2019, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) beserta Asosiasi Perusahaan Pengelolaan dan Pemurnian (AP3I) menyepakati harga jual nikel ke smelter atau pabrik pengolahan dalam negeri sebesar US$30 per metrik ton.
Lebih lanjut Irsan menambahkan kebijakan larangan ekspor nikel di Indonesia berakibat munculnya gugatan dari Uni Eropa atas perbuatan Pemerintah Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena Indonesia telah meratifikasi World Trade Organization (WTO) tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Dagang Dunia yang menimbulkan akibat hukum secara internal dan eksternal. Akibat hukum secara internal yang menimpa Indonesia adalah adanya kewajiban bagi Indonesia untuk mengubah hukum nasionalnya agar sesuai dengan ketentuan dalam persetujuan Internasional yang bersangkutan. Sedangkan akibat hukum secara eksternal yang menimpa Indonesia adalah dengan meratifikasi perjanjian Internasional berarti negara yang bersangkutan telah menerima segala kewajiban yang dibebankan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi Uni Eropa untuk menggugat Indonesia.