Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Berbagai macam sistem demokrasi pernah diterapkan di Indonesia, di antaranya demokrasi liberal, demokrasi parlementer dan demokrasi Pancasila. Namun, semua sistem tersebut belum bisa menjadikan Indonesia menjadi negara yang merepresentasikan nilai nilai demokrasi dengan sebenar-benarnya.
Sebuah negara bisa disebut sebagai negara demokrasi tentunya bukan hanya dilihat dari sistem Pemilu langsung oleh rakyat, melainkan ada hak lain yang juga harus dipenuhi oleh negara melalui pemerintah yang ditunjuk oleh rakyat untuk menjalankan negara dengan sebaik baiknya.
Salah satu cara melihat bagaimana demokrasinya sebuah negara adalah dari bagaimana hak hak yang didapatkan warganya. Robert Dahl menyebutkan bahwa yang terpenting dalam sebuah sistem demokrasi adalah bagaimana masyarakat dapat mengimplementasikan hak hak fundamentalnya seperti kebebasan bersuara, berkumpul, menyampaikan pendapat dan mengkritik pemerintah. Hal ini akan dapat dilihat dengan bagaimana sikap pemerintah saat tindakannya ditolak oleh sebagian masyarakat
Dapat kita kaitkan dengan fenomena terdekat yaitu pengesahan UU Cipta Kerja, pemerintah menerbitkan produk hukum yang sah namun tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Konsekuensinya, timbul berbagai penolakan di banyak daerah. Bahkan di antaranya berakhir dengan kericuhan, tindakan kekerasan dan perusakan.
Omnibus law merupakan salah satu program prioritas Presiden Jokowi dalam periode kedua pemerintahannya. Hal ini sampaikan langsung dalam pidatonya usai pelantikan. Setahun kemudian ketika undang undang dengan model omnibus law yang telah direncanakan itu akhirnya disahkan, muncul banyak penolakan di berbagai wilayah Indonesia, khususnya dari kalangan buruh, mahasiswa dan akademisi.
Pembahasan UU yang terkesan tergesa-gesa. Banyak ditemukan kesalahan dan banyak silang pendapat menganai versi final undang-undang. Keadaan ini menjadi semakin janggal dan penolakan semakin tak terhindarkan. Tndakan polisi melakukan sweeping untuk mencegah para demonstran menyuarakan pendapat ditambah lagi tindakan represif aparat terhadap para demonstran.
Keadaan ini menjadi paradoks di mana aparat melakukan tindakan represif kepada para demonstran dengan alasan demonstran bertindak anarkis. Padahal, para demonstran yang mungkin sampai bertindak anarkis karena merasa muak suaranya tidak didengar oleh pemerintah. Apalagi, saat demonstrasi justru mereka diusir oleh aparat. Ibarat lempar batu sembunyi tangan, pemerintah yang berbuat, namun yang terjadi adalah masyarakat melawan aparat.
Bentuk lain pemerintah atau aparat negara dalam membatasi hak untuk menyuarakan pendapat adalah dengan adanya ancaman sulitnya mendapatkan SKCK bagi pelajar yang mengikuti demonstrasi. Padahal PBB mengakui bahwa remaja berhak untuk berserikat, berkumpul, berekspresi dan menyuarakan pendapat. Di negara lain seperti Thailand dan Hong Kong tampak aksi protes terhadap pemerintah juga diikuti oleh para pelajar.