Dalam sejarah Indonesia, aksi KAPI dan KAPPI yang turut serta dalam peristiwa TRITURA 1966. Hal ini menandai bahwa pelajar pernah turut serta dalam pergerakan menyuarakan pendapat. Tampaknya sangat berlebihan apabila pemerintah mengancam pelajar untuk tidak ikut menyuarakan pendapat dengan alasan mereka belum membaca dan paham isi undang-undang. Justru anggota DPR juga belum membaca karena memang belum tersedia bahkan hingga UU itu disahkan.
Hal ini rupanya sejalan dengan menurunnya indeks demokrasi Indonesia seperti yang telah dipublikasikan oleh beberapa lembaga pengindeks demokrasi. Lembaga survei Freedom House menyebut Indonesia sebagai negara partly free atau negara dengan kebebasan sebagian, yang mendapat 31 poin dari 60 dalam hal kebebasan sipil. Begitu juga, Economist Intelligence Unit (EIU) mengkategorikan Indonesia kedalam negara flawed democracy atau negara dengan demokrasi yang cacat.
Indikator Politik juga merilis hasil survei yang menyebut bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemerosotan dengan 79.6% publik cenderung setuju atau sangat setuju bahwa saat ini warga makin takut menyuarakan pendapat. 73.8% masyarakat merasa makin sulit berdemonstrasi atau melakukan protes. 57.7% menilai aparat makin semena-mena menangkap warga yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) pada 2019 menyebut bahwa ancaman dan penggunaan kekerasan serta pembatasan kebebasan berpendapat mendapat skala 57,35 yang berarti buruk.
Kebebasan pendapat yang semakin diberangus tampak juga pada kasus kasus lain, yang juga turut mendorong merosotnya nilai-nilai HAM dalam sebuah negara demokratis. Beberapa waktu lalu, Ismail Ahmad warga Maluku Utara diamankan polisi untuk dimintai keterangan atas unggahan goyonan Gus Dur tentang “3 polisi jujur” di media sosialnya. Ahmad pun sempat diminta untuk wajib lapor selama beberapa hari, dan akhirnya meminta maaf karena merasa telah merendahkan institusi Polri.
Dari hal ini tampak polisi over sensitive dan anti kritik dengan menganggap serius hingga memproses sebuah guyonan dan kritik dari masyarakat. Hal ini pun sejalan dengan teguran dari Mabes Polri yang mengingatkan Mapolres Sula agar tidak terlalu serius menanggapi guyonan masyarakat.
Pembatasan berpendapat ini tampaknya juga menyerang ruang-ruang diskusi, adanya serangan teror hingga ancaman pembunuhan kepada para panita acara diskusi “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi” yang akan digelar CLS FH UGM, yang kemudian mengakibatkan diskusi tersebut batal diselenggarakan. Meskipun, Menkopolhukam Mahfud MD telah menyanggah anggapan pelarangan itu dilakukan oleh pemerintah. Namun hal ini telah menunjukan bahwa kebebasan berpendapat tampaknya juga coba dikekang.
Dalam ranah digital juga mengalami hal yang sama. Peristiwa shutdown internet di papua juga menunjukan bahwa pemerintah telah bertindak represif pada ranah digital. Pemerintah berdalih keadaan darurat, sehingga Kominfo men-shutdown internet sehingga menghambat akses informasi kondisi yang terjadi di papua. Hal ini justru terkesan menutupi apa yang terjadi sehingga kontrol publik melalui pers terhalang. Kemudian kita tidak dapat mengetahui apakah aparat dalam mengendalikan kondisi keamanan di Papua melanggar HAM atau tidak, begitu pula sebaliknya. Mereka yang di Papua tidak dapat mengabarkan apa yang mereka alami.
Beberapa peristiwa tersebut tampaknya telah menjadi bukti yang juga sejalan dengan hasil dari lembaga survei yang menatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Kebebasan yang telah didapatkan pasca revormasi tampak mulai menurun dan mencoba dikekang kembali secara perlahan, pemerintah tampak kembali menjalankan sistem otoritarianisme.