Partisipasi masyarakat dalam penyusunan maupun perubahan peraturan perundang-undangan perlu menjadi perhatian, mengenai apa dan bagaimana bentuk partisipasi masyarakat menurut peraturan perundangan-undangan. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menekankan pentingnya partisipasi publik dalam pembentukan peraturan. Pasal ini menyebutkan bahwa masyarakat yang berkepentingan atas substansi UU dan/atau RUU berhak memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Masukan tersebut dapat disampaikan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya maupun diskusi.
Ketentuan ini harus dicermati dan menjadi pedoman bagi Badan Legislatif (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat selaku pembuat dan pembentuk undang-undang. Mengingat partisipasi masyarakat penting dan diatur dalam undang-undang, sudah menjadi seharusnya pembuat undang-undang melibatkan juga masyarakat.
Partisipasi merupakan pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat, dan disahkan dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat. Tentunya tidak baik apabila hanya memandang satu sudut pandang kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Indonesia bukanlah negara yang berdasar kekuasaan, melainkan negara yang berdasar hukum. Pengambilan keputusan seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang merupakan wujud dari good governance (Callycha Juanitha Raisha Tuhumena, et.al., 2021). Good governance yakni pemerintahan yang akuntabilitas, transparansi dan tentunya melibatkan masyarakat. Partisipasi publik diperlukan sebagai jaminan bagi rakyat; rakyat sebagai objek pemberlakuan undang-undang dapat turut serta di dalam proses penyelenggaraan negara. Akses kebijakan publik yang transparan bisa didapatkan masyarakat melalui partisipasi, sehingga dapat dikatakan partisipasi menjadi prasyarat dan wujud representasi pemerintahan yang demokrasi (Joko Riskiyono, 2015).
Tanpa partisipasi masyarakat dalam penyusunan maupun pengujian undang-undang, good governance di Indonesia tidak dapat terpenuhi. Bentuk partisipasi ini bisa melalui penyerapan aspirasi masyarakat dengan memberikan ruang terhadap masyarakat untuk menyampaikan/menyalurkan aspirasinya. Alhasil, proses ini dapat mendorong terwujudnya perundang-undangan yang berkeadilan dan mensejahterakan kehidupan bernegara nantinya.
Partisipasi masyarakat dapat meminimalisasi permainan hukum dan kebijakan. Karena, pembentukan peraturan perundang-undangan tidak lagi dapat dilakukan diruang tertutup. Alhasil, masyarakat dapat berperan serta secara aktif, termasuk ikut mengkritik dan mengevaluasi kebijakan dan hukum yang akan dan tengah dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, partisipasi masyarakat akan membawa perubahan maupun proses yang baik.
Perumusan naskah akademik hingga draf RUU tidak boleh lepas dari peran serta masyarakat. Terlebih, dalam pembahasan sebuah RUU di parlemen, ada tahapan yang secara normatif harus dilalui, yaitu mendapatkan masukan dari masyarakat. Begitu pula kebijakan yang diambil pemerintah harus mendapat masukan masyarakat sebelum diputuskan (Rofiq Hidayat, 2022). Namun demikian dalam praktiknya, partisipasi masyarakat masih sangat terbatas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan HAM, KPK, KUHP, dan ITE (Margianto, 2021).
Beberapa masalah lain adalah Perpu yang tidak berdasarkan penelitian objektif. Juga, konflik yang mengatasnamakan suku, ras, agama dan budaya juga sangat sering terjadi di masyarakat. Hoaks dan ujaran kebencian dan intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas. Pembentukan Perppu sepertinya menjadi trend pilihan pemerintah belakangan ini walaupun memang dijamin oleh konstitusi. Namun, penguatan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan sebagai bentuk perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia. Dengan partisipasi publik, undang-undang yang disahkan mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Pada akhirnya, di tengah permasalahan ini, Mahkamah Konstitusi (MK) turut berkontribusi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Lembaga kekuasaan kehakiman ini berwenang menguji undang-undang, sehingga menjadi garda terdepan bagi masyarakat mengenai partisipasinya dalam pembentukan maupun pengujian undang-undang (Saifudin, 2009). Masyarakat yang merasa kepentingannya dirugikan ataupun diabaikan oleh undang-undang dapat mengajukan uji formil maupun uji materi terhadap suatu undang-undang.