Hal ini disebabkan oleh karena beberapa tindakan yang telah dapat dikatakan sebagai kekerasan seksual. Seperti menghina dan/atau merendahkan bagian tubuh seseorang, menjadikan gambar seseorang menjadi obyek pemenuhan hasrat seksual seseorang yang lain, menjadikan tubuh seseorang sebagai objek tontonan sendiri maupun individu, yang mana mengakibatkan gangguan psikis pada seseorang yang dijadikan sebagai objek.
Apabila berbagai tindakan tersebut terjadi, apakah korban dapat melakukan pengaduan terhadap pihak yang berwenang untuk membawa tindakan tersebut ke ranah hukum dengan mendasarkan aturan hukum pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
Hal ini tentunya menjadi urgensi bagi pemerintah, khususnya Lembaga Legislatif dan Eksekutif untuk membuat dan memberlakukan suatu aturan hukum khusus mengenai penghapusan kekerasan seksual untuk mencegah, melindungi, bahkan memperbaiki akibat yang telah menimpa korban, pelaku, maupun pihak lain yang dirugikan akibat tindakan kekerasan seksual.
Sejak tahun 2012, aturan hukum mengenai penghapusan kekerasan seksual telah diperjuangkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI. Namun, hingga saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak kunjung disahkan, bahkan diletakkan pada program kerja tahun 2019-2024.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual memberikan definisi kekerasan seksual secara eksplisit, dimana kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara terpaksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam kehendak bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun menjelaskan lebih lanjut apa yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual, antara lain pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau penyiksaan seksual. Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwasanya kekerasan seksual tidak terbatas hanya pada terjadinya persetubuhan dua orang atau lebih.
Apabila seseorang merendahkan atau menghina bagian tertentu dari tubuh seseorang yang lain, mencoba meraba, menyentuh, atau memegang bagian tertentu dari tubuh seseorang atau yang lebih dikenal dengan istilah “gerepe” dimana dilakukan tanpa persetujuan atau kehendak dari kedua belah pihak tersebut, tindakan-tindakan tersebut sudah dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual dan hal ini telah marak terjadi para era globalisasi ini.
Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (2) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bahwasanya upaya pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku menjadi kewajiban negara dalam melaksanakan upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Dimana negara tidak hanya memberikan perlindungan kepada korban, namun juga kepada keluarga korban dan saksi yang memberikan keterangan mengenai terjadinya kekerasan seksual terhadap korban.