Pasal 28 huruf G Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwasanya setiap orang memiliki hak untuk melindungi kehormatan dan martabat diri pribadi, bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat dirinya. Perilaku penyiksaan dan perendahan martabat manusia sering kali terjadi melalui tindakan kekerasan seksual.
Menurut data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada tahun 2018 terdapat sebanyak 206 kasus kekerasan seksual terjadi di Indonesia, angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2017 dimana kekerasan seksual terjadi sebanyak 81 kasus. Kekerasan Seksual merupakan pelanggaran hak asasi, dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi karena pelaku kekerasan seksual secara langsung dan tidak langsung mengancam hak pada diri seseorang untuk aman berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang menjadi upaya perlindungan yang ia lakukan terhadap kehormatan dan martabatnya.
Pelanggaran hak asasi melalui kekerasan seksual ini marak memakan korban kaum perempuan baik kategori anak-anak maupun dewasa, hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kasus kekerasan seksual yang diberikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bahwasanya pada tahun 2018 sebanyak 406.178 kasus dan terjadi peningkatan hingga mencapai 431.471 kasus. Salah satu kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia ialah kasus pelecehan seksual terhadap murid Jakarta International School (JIS) pada tahun 2015 yang dilakukan oleh guru pengajar JIS.
Hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwasanya pelaku pelecehan seksual tersebut secara sah dan terbukti melakukan tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana di atur dalam Pasal 82 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi, hakim menyatakan bahwasanya pelaku tersebut tidak terbukti bersalah dan dibebaskan dari hukuman.
Kasus ini naik sampai tingkat Kasasi pada Mahkamah Agung yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi serta mengadili sendiri dengan amar putusan bahwasanya pelaku pelecehan tersebut terbukti melakukan tindak pidana dan di jerat Undang-Undang Perlindungan Anak juncto KUHP.
Sejak tahun 1946, Hukum Positif Indonesia telah mengatur mengenai tindakan kekerasan seksual yang tercantum dalam Pasal 281-303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Umumnya, sanksi pidana yang diberikan bagi tindak pidana kekerasan seksual berupa pidana penjaran dan/atau pidana denda. Kekerasan seksual merupakan salah satu tindak pidana, dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila tindakan tersebut memenuhi unsur tindak pidana, yaitu adanya kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) dan perbuatan yang melawan hukum.
Tindak pidana kekerasan seksual merupakan perbuatan yang melanggar aturan hukum pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan dengan kesengajaan. Artinya, bahwa pelaku menghendaki tindakan kekerasan seksual tersebut dimana ia telah mengetahui benar tindakan dan akibat dari tindakan tersebut, namun ia tetap melakukannya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dijelaskan secara eksplisit definisi kekerasan seksual. Apabila ditarik dari seluruh aturan hukum pada Pasal 281-303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa yang dapat dikatakan kekerasan seksual ialah perbuatan dimana seseorang melakukan persetubuhan atau pencabulan dengan seseorang yang telah atau belum melangsungkan perkawinan dengan atau tanpa ancaman, kekerasan, dan dalam keadaan tidak berdaya. Namun, pada saat ini definisi kekerasan seksual tidak dapat dibatasi dengan aturan hukum pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).