Pada bulan Maret lalu, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyampaikan laporan terkait pembahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2021. Dalam laporan tersebut, disampaikan bahwa terdapat 33 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang siap dibahas bersama dengan pemerintah dan DPD ke depan. Di antara 33 RUU tersebut, terdapat beberapa di antaranya yang mendapatkan sorotan yang cukup besar dari publik yakni RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, RUU tentang Masyarakat Hukum Adat, hingga RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Bukan menjadi hal yang aneh manakala pembahasan berbagai RUU tersebut mendapatkan perhatian yang besar oleh khalayak ramai. Baik itu mulai dari aspek formil hingga materiil pembentukannya. Layaknya adagium “Het recht hink achter de feiten aan” atau dalam bahasa Indonesia berarti “hukum selalu tertatih-tatih mengejar fakta yang terjadi (diartikan juga perkembangan zaman)”. Pengawasan dan kritik dalam proses pembahasan suatu RUU menjadi bagian penting sekaligus tak terpisahkan guna memenuhi salah satu asas pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yakni keterbukaan.
Dalam pembahasan 33 RUU tersebut, 13 di antaranya merupakan perubahan atas pemberlakuan undang-undang lama. Sehingga adagium di atas menjadi semakin relevan jika dikontekskan dengan adanya usaha penyesuaian antara hukum yang berlaku dengan kondisi masyarakat yang berkembang. Hampir dari kesemua RUU yang masuk daftar Prolegnas 2021 tersebut mencantumkan ketentuan pidana sebagai muatan yang nantinya akan diatur ataupun disempurnakan lewat perubahan atas suatu undang-undang tertentu.
Kebijakan Kriminal dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Jika dikontekskan dengan pembentukan hukum pidana yang jelas bersinggungan erat dengan jalannya proses realisasi Prolegnas 2021. Tentu tidak bisa dilepaskan dari keharusan adanya kajian mendalam dari aspek kebijakan kriminal (politik hukum pidana). Prof. Barda Nawawi Arief mengungkapkan bahwa pendekatan kebijakan kriminal penting dalam menelaah dua pokok persoalan yakni; 1) perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Pendekatan kebijakan kriminal menjadi penting guna menghindari formulasi hukum pidana yang berujung pada overkriminalisasi. Sehingga tahapan penetapan pidana (tahapan legislasi) oleh pembuat undang-undang merupakan tahapan sangat strategis dalam menciptakan hukum pidana yang memiliki basis rasionalisasi kuat. Baik itu dalam pengaturan suatu perbuatan menjadi tindak pidana, maupun mengatur jenis dan besaran sanksi pidana yang sebanding (proporsional) dengan bahaya serta kesalahan si pelanggar.