Sayangnya dalam praktek legislasi di Indonesia, diskursus mengenai penggunaan pendekatan kebijakan kriminal yang ‘utuh’ sering terlewatkan. Maksud penulis menggunakan frasa ‘utuh’ disini dikarenakan sejatinya dalam praktek legislasi yang telah berjalan. Para pembuat peraturan perundang-undang (baik itu DPR, pemerintah maupun DPD) telah menggunakan pendekatan kebijakan kriminal dalam merumuskan berbagai ketentuan pidana, khususnya yang di luar kodifikasi KUHP.
Akan tetapi, pendekatan kebijakan kriminal tersebut hanya digunakan untuk membahas persoalan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan jenis sanksi yang sesuai untuk dikenakan. Pembahasan mengenai perumusan besaran sanksi yang proporsional sangat jarang dibahas secara mendalam dalam praktek legislasi di Indonesia.
Ide Proporsionalitas dalam Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana
Persoalan tersebut dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Dr. Mahrus Ali yang berjudul “Proporsionalitas dalam Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana” dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Vol. 25 yang terbit di tahun 2018. Dalam penelitian tersebut, terdapat beberapa tindak pidana di berbagai undang-undang yang diperbandingkan satu sama lain besaran formulasi sanksi pidananya. Analisis tersebut didasarkan pada teori yang dikembangkan oleh Andrew von Hirsch mengenai konsepsi proporsionalitas pidana.
Dalam teori proporsionalitas ordinal (ordinal/relative proportionality) yang dikembangkan Hirsch. Teori tersebut mensyaratkan tiga komponen yakni parity, rank ordering, dan spacing penalties. Secara singkat parity berarti harus adanya kesetaraan antara suatu tindak pidana dengan tingkat seriusitas tertentu dalam satu kategori dengan sanksi pidana yang diancamkan. Sebagai contoh delik obstruction of justice yang diatur dalam UU Korupsi, UU Narkotika, dan UU Perbankan sejatinya memiliki tingkat seriusitas yang dapat diperbandingkan dan dalam satu kategori tindak pidana yakni delik obstruction of justice. Akan tetapi, formulasi sanksi pidana dalam ketiga UU tersebut tidaklah sepadan, sehingga tidak memenuhi syarat parity.
Kemudian rank ordering yang berarti pidana seharusnya disusun berdasarkan skala pidana yang berat-ringan ancamannya mencerminkan peringkat seriusitas kejahatan. Sehingga besaran sanksi pidana harus diatur sesuai dalam suatu sistem yang mencerminkan berat-ringannya suatu tindak pidana. Terakhir yaitu, spacing of penalities yang berarti penentuan jarak sanksi pidana antar satu delik dengan delik yang lain agar mencerminkan proporsionalitas itu sendiri.