Mahrus Ali dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa penggunaan teori proporsionalitas pidana dalam kebijakan formulasi sanksi pidana di tahapan legislasi merupakan isu yang terlupakan. Dalam penelitian tersebut, juga diungkap bahwa delik-delik yang diperbandingkan sebagai obyek penelitian pun tidak mencerminkan proporsionalitas pidana. Sehingga besar kemungkinan dapat menimbulkan persoalan mulai dari tidak terpenuhinya keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum hingga disparitas putusan oleh pengadilan.
Urgensi dan Implementasi
Oleh karena itu, tentu sangatlah logis manakala perkembangan ide konsepsi teori proporsionalitas pidana dalam kebijakan formulasi pidana menjadi point penting yang harus diperhatikan dalam Prolegnas 2021 ini. Mengingat pentingnya mengimplementasikan kebijakan kriminal secara utuh, sehingga menghasilkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang di satu sisi relevan dengan kebutuhan masyarakat. Di sisi lain secara konseptual, pembentukannya didasarkan pada telaah komprehensif dan rasional, khususnya dalam mengatur berat-ringannya ancaman suatu sanksi pidana.
Berdasarkan perkembangan teori proporsionalitas pidana yang dilakukan oleh Hirsch di berbagai penelitiannya. Setidaknya tantangan para pembuatan undang-undang saat ini ialah; 1) menyusun sistem yang secara eksplisit menilai tingkat seriusitas suatu delik. Hal ini guna memenuhi syarat parity dan rank ordering. 2) melakukan telaah yang komprehensif mengenai penilaian atas tingkat seriusitas suatu delik berdasarkan nilai-nilai yang hidup di suatu negara. Mengingat tiap negara memiiki basis nilai-nilai yang berbeda, dan 3) menguatkan alasan yang rasional dalam menyusun pemeringkatan seriusitas suatu delik.
Ketiga tantangan tersebut menjadi sangat urgen untuk dibawa dan dibahas dalam pembahasan Prolegnas 2021 sebagai suatu diskursus yang penting untuk mendapatkan perhatian bersama. Mengingat secara fundamental, pengaturan hukum pidana sangat erat dengan pembatasan hak asasi manusia. Sehingga menjadi suatu keharusan dalam merumuskannya harus didasarkan pada pendekatakan kebijakan kriminal yang rasional. Tidak terkecuali dalam merumuskan berat-ringannya ancaman suatu sanksi pidana.