Terlebih lagi melihat pertimbangan hukum dalam Putusan MK tersebut, yang mendasarkan pada realitas bahwa KPK merupakan lembaga khusus yang menangani tindak pidana korupsi yang notabenenya merupakan extra ordinary crme. Akan tetapi menjadi sangat kontradiktif dengan Amar Putusan yang diputuskan yang hanya menambahkan ketentuan limitasi waktu dua tahun terhitung sejak dikeluarkannya SPDP. Secara logis dan koheren, seharusnya KPK sebagai lembaga anti rasuah yang menangani tindak pidana korupsi yang tergolong sebagai extra ordinary crime, seharusnya diberikan persyaratan yang jauh lebih ketat daripada prosedur SP3 oleh lembaga penegak hukum lain yang bertumpu pada KUHAP.
Secara objektif kritik atas pengaturan SP3 dalam UU KPK ini ialah bertumpu pada ukuran penghentian penyidikan yang mendasarkan pada limitasi waktu semata, yang mana seharusnya bertumpu pada ukuran yang telah diatur dalam KUHAP. Secara konseptual upaya memperkuat screening system melalui SP3 tentu merupakan langkah yang tepat dan logis. Akan tetapi, perlu diingat tumpuannya bukan mengarah pada limitasi waktu semata.
Mengingat perkara tipikor yang memiliki tingkat kerumitan yang jauh lebih tinggi. Apakah tidak berlebihan membebankan masa penyidikan paling lama dua tahun pada seluruh jajaran pegawai KPK saat ini? Terlebih di tengah isu adanya pemberedelan puluhan jajaran pegawai KPK yang sedang bertugas. Perlu diingat, terdapat upaya hukum yang sah dalam mengawasi penerbitan SP3 yakni upaya hukum Pra Peradilan. Sehingga, mari kita lihat bersama ke depan implementasi SP3 pasca Putusan MK ini apakah akan mengarah pada capaian strategis KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi, atau malah menjadi langkah destruktif dalam usaha pemberantasan korupsi di Indonesia.
Baca juga: