Integritas dalam diri seorang hakim mengambil peran yang sangat besar dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial di Indonesia. Bahkan kepemilikan sikap integritas dalam diri seorang hakim merupakan salah satu kode etik bagi hakim sedunia. Hal ini telah disepakati dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct atau Konferensi Peradilan Internasional yang diselenggarakan di Bangalore, India pada tahun 2001.
Sikap integritas tersebut wajib dimiliki oleh seluruh hakim termasuk hakim di Indonesia sebagaimana MA dan MK pun telah sepakat untuk menggunakan The Bangalore Principles of Judicial Conduct sebagai acuan penyusuan kode etik hakim di Indonesia.
Namun alih-alih menjaga marwah kekuasaan kehakiman, mafia peradilan dan krisis integritas masih terus melanda hakim Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan data laporan akhir tahun dari KYpada tahun 2019, telah menerima 1.544 laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dalam laporan akhir tahun 2019 tersebut, terdapat 130 hakim yang dijatuhkan sanksi oleh KY.
Jumlah ini meningkat cukup signifikan dibanding dengan tahun 2018 yang hanya 63 sanksi. Sedangkan menurut data dari KPK sepanjang tahun 2012 hingga tahun 2019 terdapat 20 hakim yang tersandung kasus korupsi.
Fenomena pengikisan integritas hakim di Indonesia hingga saat ini diakibatkan oleh semrawutnya manajemen hakim, mulai dari sistem perekrutan, pembinaan, pengawasan, sampai dalam proses pemberhentian hakim.
Hal ini disebabkan oleh rangkaian peraturan yang dianggap kurang baik, seperti konsep one roof system yang membuka peluang besar akan adanya monopoli kekuasaan karena pengelolaan hakim hanya dikelola oleh satu entitas saja, yang mana hal ini pada akhirnya melahirkan hakim-hakim baru yang kurang kredibel, mumpuni, dan tidak integritas.
Fenomena tercorengnya integritas hakim dan independensi kekuasaan kehakiman ini terjadi hampir pada semua tingkat pengadilan. Mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, MA, bahkan hingga hakim konstitusi.
Kasus hakim konstitusi seperti Patrialis Akbar dan Akil Mochtar yang tertangkap tangan karena menerima suap agar mengeluarkan putusan sesuai dengan keinginan pemberi suap. Peristiwa-peristiwa ini membuktikan betapa buruknya integritas seorang hakim di Indonesia hingga putusan seorang wakil Tuhan pun bisa dibeli dengan uang.
Wohooo, mantap sekaliii