Menurut Vytautas Čyras, apa yang tertuang di dalam peraturan merupakan hasil daripada pengetahuan manusia. Sehingga, dari pengetahuan tersebutlah terciptalah norma-norma yang akhirnya tersusun dalam suatu peraturan.
Di Indonesia norma-norma tersebut dikejawantahkan dalam suatu peraturan yang dijadikan sebagai basis dari peraturan-peraturan lainnya, yakni UUD NRI 1945 yang dijadikan sebagai the highest norm dan the supreme law of the land dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pada perubahan ketiga UUD NRI 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum demokratis, dan juga menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang independen dan imparsial.
Kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial yang dimaksud dalam hal ini adalah kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala intervensi manapun, dengan tujuan untuk mewujudkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan menjadikan independensi dan imparsialitas kekuasaan kehakiman sebagai suatu pilar.
Menurut Antikowati, makna dari negara hukum demokratis jika dilihat dari perspektif lainnya tidak hanya bertujuan untuk menciptakan supremasi hukum. Akan tetapi, juga bertujuan untuk mengembalikan independensi dan imparsialitas ke dalam marwah kekuasaan kehakiman. Konsep kekuasaan kehakiman yang independen dan imparisalitas ini pada akhirnya dituangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial maka diperlukan adanya integritas dan profesionalisme pada hakim itu sendiri. Senapas dengan konsep ini Feri Amsari juga menegaskan bahwa terdapat tiga syarat untuk mencapai kekuasaan kehakiman yang merdeka, yakni sistem pemilihan dan pengangkatan hakim, lama masa jabatan hakim, dan mekanisme pemberhentian hakim.
Lanjutnya, menurut Feri Amsari, konsep satu atap atau one roof system yang saat ini diterapkan oleh Mahkamah Agung jauh lebih cocok untuk difungsikan dalam manajemen perkara saja, bukan manajemen hakim. Karena dalam manajemen hakim diperlukan adanya kehadiran lembaga lain untuk menciptakan check and balances, sehingga dapat meminimalisir terciptanya monopoli kekuasaan dalam rekrutmen maupun pemberhentian hakim, yang mana hal ini akan berpengaruh pada integritas hakim dan juga independensi dari kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Oleh karena itu, ide pembagian tanggung jawab hakim antara MA dan KY, atau shared responsibility ini layak untuk dibahas sebagai pertimbangan untuk menata kembali kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Wohooo, mantap sekaliii