Pemberlakuan Pilkada serentak akhirnya melanggengkan praktik politik uang yang banyak terjadi di level masyarakat, dan justru merambah ke pada elite dalam pemborongan partai koalisi yang cenderung pragmatis. politik transaksional semacam ini hanya akan menghasilkan pemerintahan yang korup.
Keempat, Pilkada serentak masih belum dapat bekerja secara optimal di tingkat lokal dalam mendorong mesin partai politik untuk bekerja dengan baik. Indikasi dari ini adalah ditandai dengan banyaknya calon calon kepala daerah yang hanya mengandalkan personal branding, serta jaringan jaringan pribadi untuk mencalonkan dirinya. Selain itu, semakin banyaknya fenomena calon tunggal di dalam pilkada serentak, yang menandakan bahwa mesin partai politik belum menjadi pilar demokrasi yang maksimal untuk menjembatani rekrutmen politik, dan sebagai pendidikan politik bagi publik.
Kelima, banyaknya suara rakyat yang terbuang di dalam pemilihan umum karena surat suara tidak sah. Dalam laporannya, terdapat di tahun 2015 rata-rata suara tidak sah mencapai 4%, dengan persentase paling tinggi adalah dari provinsi Bengkulu (7,06% suara tidak sah). Tingginya angka suara yang tidak sah ini dapat disebabkan karena memang pilihan masyarakat, bisa juga karena pemilih tidak sadar bahwa dia telah merusak surat suara, karenanya dibutuhkan desain sistem pemilihan yang lebih sederhana.
Apabila ditinjau dari segi efektivitas biaya penyelenggaraan, pelaksanaan Pilkada serentak di tahun 2015 yang digadang-gadang seharusnya dapat menghemat biaya, justru jauh dari unsur penghematan. Di dalam operasional penyelenggaraan Pilkada serentak, biaya paling besar banyak dikarenakan anggaran belanja gaji penyelenggara. Penyelenggaraan Pilkada serentak, di tahun 2015 belum dapat berjalan secara efisien karena tidak dilaksanakan dalam satu waktu, di setiap provinsi. Efisiensi penyelenggaraan Pilkada serentak dapat berjalan, apabila pemilihan gubernur bupati atau walikota dapat bersamaan, karena akan terjadi efisiensi di dalam honor untuk penyelenggara, serta efisiensi logistik Pilkada.
Setelah beberapa uraian mengenai perjalanan singkat terhadap pemberlakuan Pilkada serentak di tahun 2015, dan segala kekurangannya, pada tahun 2016 kemudian terbit kembali aturan baru mengenai Pilkada Serentak. Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undang-undang nomor 10 tahun 2016 menjadi landasan baru yang mengatur terkait Pilkada serentak.
Muatan dalam undang-undang ini kurang lebih memiliki kesamaan dengan undang-undang sebelumnya, yaitu mengenai Pilkada serentak. Dengan berlakunya undang-undang ini, seluruh peraturan pelaksana dari undang-undang nomor 8 tahun 2015, dan undang-undang nomor 1 tahun 2015 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang nomor 10 tahun 2016.
Selanjutnya, dalam pasal 201 ayat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, diatur beberapa ketentuan mengenai timeline Pilkada serentak yang dilakukan di beberapa tahapan tahun. Pada pasal yang sama, di ayat 7 dan 8, diatur mengenai: ayat 7 pada intinya adalah mengatur tentang kepala daerah yang dihasilkan dari pemilihan tahun 2020, hanya menjabat sampai dengan tahun 2024 (empat tahun). Pada ayat 8, pemilihan kepala daerah di seluruh wilayah negara kesatuan republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Kemudian, apabila kita merujuk pada undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017, dan pasal 22E UUD NRI tahun 1945, pemilu nasional akan dilaksanakan 5 tahun sekali, yang akan jatuh di tahun 2024 pula. Hal ini menunjukkan, bahwa akan terdapat perbarengan pelaksanaan antara Pilkada serentak, dan pemilu serentak di tahun 2024. Berdasarkan hal tersebut, dapat dipastikan bahwa kualitas demokrasi yang diinginkan pada tingkat lokal, untuk dapat ditingkatkan akan semakin jauh dari kenyataan, pasalnya, pilkada dan pemilu seharusnya tidak dilaksanakan secara bersamaan.
Pelaksanaan pemilu dan Pilkada secara bersamaan, akan menyebabkan terjadinya coat-tail effect, yang akan cenderung lebih mensentralisasi isu dalam kerangka politik nasional, daripada mengedepankan isu isu yang seharusnya muncul di daerah untuk menggelorakan demokrasi lokal. Coat-tail effect, pada dasarnya merupakan konsep yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan sebab akibat, antara partai pemenang pemilu legislatif ialah partai presiden dan wakil presiden terpilih berasal.