Putusan lepas ontslag MA terhadap Syafruddin menuai berbagai pandangan ahli, kasus yang mengakibatkan kerugian negara tersebut perlu dipertanyakan mengenai tindakan penanganannya.
Akan tetapi dalam perkara Syafruddin istilah pelepasan sudah tepat digunakan. Ini dapat diartikan dilepaskan dari tuntutan, namun bukan berarti perbuatan tersebut tidak terbukti. Dalam pembebasan ontslag van rechtsvervoliging, terdakwa telah terbukti melakukan tindakan yang didakwakan. Akan tetapi tindakan tersebut tidak masuk kedalam unsur pidana.
Dalam arti lain, kasusnya menjadi kasus perdata atau kasus administrasi negara. Hal ini dapat dikaji melalui, penjelasan umum PP Nomor 17 tahun 1999, kewenangan BPPN tunduk pada Undang-Undang Perbankan bukan pada Undang-Undang Perbendaharaan negara. Selain itu, dakwaan pelanggaran pasal 2 dan pasal 3 Undang-Undang Tindak pidana korupsi tidak tepat untuk digunakan pada kasus ini, yang memberatkan pada kewajiban dalam melaksanakan perintah undang-undang selaku pejabat penyelenggara negara.
Dalam babak baru, perkara ini berlanjut pada persoalan putusan etik MA yang menjadi titik terang bagi KPK untuk menyelidiki kembali keputusan terkait kasus penerbitan SKL BLBI. Hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago, bertugas sebagai hakim anggota I pada persidangan perkara SKL BLBI dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung. Dalam persidangan, Syamsul Rakan memberikan pandangan mengenai perkara ini yang termasuk kedalam ranah perdata. Berbeda dengan putusan pengadilan tingkat pertama dan banding yang mengkategorikan kepada ranah pidana. Dalam periode persidangan, Syamsul Rakan bertemu dengan Ahmad Yani, yang berkedudukan sebagai pengacara Syarifuddin Tumenggung. Pertemuan tersebut terjadi diluar persidangan, dengan pembicaraan yang tidak diketahui membahas persoalan persidangan atau tidak. Terlepas dari topik pembahasan, Syamsul Rakan telah melanggar Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009.
Tercantum pada Pasal 5 ayat 3 huruf e, mengenai larangan bagi hakim dalam penerapan berperilaku adil, seorang hakim dilarang untuk berkomunikasi dengan pihak berpekara diluar persidangan, kecuali di dalam lingkungan gedung peradilan dengan tujuan demi menyukseskan persidangan. Hal ini, patut dipatuhi setiap hakim. Dengan tidak adanya komunikasi yang terjalin antara hakim dan pihak berpekara, maka akan mempersempit dugaan mengenai pertidaksamaan perlakuan dan berpihakan. Maka tidak akan muncul kecurigaan atas putusan pengadilan yang nantinya diambil. Larangan ini tentunya juga digunakan untuk melindungi marwah wibawa hakim yang adil dan tidak berpihak.
Ketentuan lain yang memiliki pokok bahasan yang mendekati yaitu Pasal 9 ayat 4 huruf b, mengenai kewajiban hakim dalam penerapan berperilaku berintegrasi tinggi. Dalam ayat ini, seorang hakim diwajibkan mengindari hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan advokat, penuntut dan pihak-pihak yang sedang berperkara dengan hakim yang bersangkutan. Dan pada Pasal 9 ayat 5 huruf d, yang memuat larangan bagi hakim. Seorang hakim dilarang mengadili pihak yang berperkara apabila hakim tersebut menjalin pertemanan yang akrab dengan pihak berperkara. Hakim Syamsul Rakan telah mengakui bahwa keduanya telah menjalin hubungan pertemanan yang akrab karena pernah berada pada naungan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).
Dalam poin kali ini terletak jelas pelanggaran kode etik yang telah dilanggar hakim Syamsul Rakan. Larangan untuk menjalin hubungan dengan pihak berperkara baik dalam pertemanan, digunakan untuk menjaga integritas seorang hakim. Sehingga hakim akan selalu berpegang pada kebenaran, dan bertanggung jawab atas tindakan yang diambil, serta mampu memahami hukum secara tersirat maupun tersurat serta menaatinya.
Pelanggaran itu juga terkait Syamsul Rakan belum mencopot papan advokat saat menjadi hakim ad hoc. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran kode etik hakim yang berat, seperti yang tercantum dalam Pasal 11 ayat 4 huruf b, mengenai larangan perilaku dalam menjunjung harga diri, seorang hakim dilarang menjadi advokat atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara. Namun, hakim Syamsul yang telah menjabat hakim ad hoc, tidak mencopot papan advokat pada dirinya. Larangan ini diadakan guna megurangi adanya pelanggaran yang dapat dilakukan hakim dengan memberikan konsultasi hukum pada pihak berperkara atau yang sedang mengalami masalah hukum dengan cuma-cuma.
Terlepas dari melaksanakan tugas seorang advokat atau tidak, Syamsul Rakan telah diputus melanggar kode etik hakim dengan menjadi hakim non-palu selama enam bulan, sebagaimana yang diatur dalam pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – 2/SKB/P.KY/IV/2009.