Sungguh miris memang, hanya gara-gara sandal jepit yang sudah butut membuat seorang remaja harus berurusan dengan pengadilan. Hanya karena anggota brimob yang melapor, kasus sepele seperti itu dapat ditindak. Beruntung hakim masih memihaknya, karena tidak masuk akal jika hanya mencuri sandal jepit butut dirinya harus divonis 5 tahun penjara.
Contoh konkret di atas yang menimbulkan keprihatinan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia, masyarakah menyesalkan putusan pengadilan mengenai masa hukuman yang dijatuhkan kepada Nenek Minah. Hukuman itu dirasa tidak perlu karena kasus Nenek Minah dianggap dapat diselesaikan secara non-formal. Menurut pengamat hukum, kasus yang dialami Nenek Minah dan remaja asal Palu tersebut dapat diselesaikan dengan cara non-formal, yaitu dengan menerapkan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan keadilan dan keseimbangan khususnya bagi pelaku tindak pidana dan korbannya.
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai rasa keadilan masyarakat sedang menghadapi masalah besar. Penegak hukum dinilainya masih terikat oleh pasal-pasal formal dan akibatnya hukum tidak lagi mementingkan substansi yakni hati nurani. Pendapat Mahfud MD bisa dikatakan relevan karena memang kenyataannya penegakan hukum di Indonesia tidak lagi mementingkan hati nurani. Kasus sepele ditindak tegas sedang kasus yang merugikan banyak orang bahkan negara ditindak seadanya. Hal ini dapat dilihat dari pemberian vonis yang tidak wajar terhadap para koruptor.
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat lebih dari seribu terdakwa kasus korupsi yang ditangani sepanjang tahun 2017 divonis penjara kurang dari empat tahun, rata-rata divonis 2 tahun 2 bulan. Vonis yang dijatuhkan pengadilan pada terdakwa kasus korupsi tak sebanding dengan perbuatan para koruptor yang merugikan khalayak ramai. Dengan pemberian vonis yang begitu ringan membuat korupsi semakin merajalela di negara kita.