ICC adalah lembaga peradilan internasional – juga berkedudukan di Belanda – yang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh individu-individu dan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan. Dasar hukum yang menjadi pedoman dan ketentuan ICC adalah Statuta Roma. Dalam Pasal 1 Statuta Roma maupun Mukadimahnya, disebutkan bahwa ICC merupakan pelengkap dari yurisdiksi pidana di tingkat nasional. Artinya, tidak akan diberlakukan yurisdiksi ICC apabila proses peradilan di tingkat nasional belum atau sedang dijalankan.
Beberapa pengaturan yang menjadi acuan penting disini adalah:
Menurut Pasal 12(2) Statuta Roma, ICC hanya boleh melaksanakan yurisdiksinya jika (a) dugaan kejahatan terjadi di wilayah negara anggota, atau jika (b) pihak yang dituduh sebagai pelaku adalah warga negara anggota – negara anggota ini adalah negara yang telah meratifikasi Statuta Roma.
Lalu, tentang perkara-perkara yang dapat diajukan ke ICC menurut Pasal 5 adalah empat kejahatan internasional yang masuk kewenangan materil ICC, yaitu Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, dan Agresi..
Natalius Pigai, mantan komisioner Komnas HAM RI, dalam artikelnya memberikan pengertian kejahatan adalah tindakan yang dimusuhi umat manusia di dunia (Hostis Humanis Generis). Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal, di mana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara manapun, tanpa memperdulikan tempat perbuatan dilakukan, maupun kewarganegaraan pelaku ataupun korban.
Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan prinsip no safe haven (tidak ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hostis humanis generis (musuh seluruh umat manusia) ini. Perlu ditambahkan bahwa untuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya kedaluwarsa