Dunia maya seakan dibuat heboh dengan berita mengenai ‘pembuangan jenazah’ di laut oleh beberapa orang yang disamarkan wajahnya pada 5 Mei lalu. Berita tersebut diberitakan oleh stasiun televisi Korea Selatan, MBC News, yang dalam waktu singkat membuat orang Indonesia marah besar, bertanya-tanya dimana kemanusiaan.
Pasalnya, isu pelarungan tersebut bukan hanya soal pelarungan semata. Namun terdapat isu eksploitasi manusia ke arah perbudakan. Dilansir dari Detik News, dugaannya beragam, mulai dari dugaan ABK (Anak Buah Kapal) dipekerjakan 18 hingga 30 jam sehari dan istirahat hanya setiap enam jam sekali, gaji yang terkesan tak manusiawi, minum air hasil olahan air laut, hingga dugaan Kapten kapal enggan sandar ke pelabuhan guna mencari pertolongan medis untuk ABK WNI yang sakit.
Respon Tiongkok
Dilansir dari Antara, pemerintah Tiongkok berjanji akan serius menindaklanjuti laporan mengenai pelarungan jenazah ABK WNI dan dugaan eksploitasi terhadap ABK lainnya yang bekerja pada kapal pencari ikan Tiongkok. Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Zhao Lijian, menilai beberapa laporan media mengenai peristiwa tersebut tidak berdasarkan fakta dan oleh karena itu pihaknya akan menangani masalah tersebut berdasarkan fakta dan hukum yang ada. Perlu diketahui, praktik kelautan internasional berpegang pada International Labor Organization Seafarer’s Service Regulations.
Langkah Indonesia
Melansir kembali dari Detik News, Menlu Retno meminta Coast Guard Korea Selatan ikut melakukan investigasi. Indonesia sendiri juga akan berusaha menyelidiki dan mendapatkan klarifikasi terkait pelarungan ABK WNI, jika terbukti terdapat pelanggaran terhadap regulasi ILO, maka RI akan meminta Tiongkok untuk menegakkan keadilan. RI juga meminta pihak Tiongkok untuk membantu pemenuhan hak ABK WNI, termasuk pemenuhan gaji dan pengelolaan kondisi kerja yang aman.
Mengingat pihak terkait kasus ini adalah Indonesia dan Tiongkok (antar negara), lantas, apakah mungkin diselesaikan di Mahkamah Internasional? Secara singkat sekali, jawabannya adalah bisa jadi. Mengapa?
Teori, Probabilitas dan Ketentuan
Di dunia peradilan internasional, terdapat dua lembaga tempat penyelesaian sengketa internasional, yakni Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC). Melalui sebutan tersebut dapat kita mengetahui perbedaan antara ICJ dan ICC.
Sesuai alasan berdirinya dan keinginan untuk menjaga perdamaian dunia, hukum internasional memiliki tujuan untuk mengatur hubungan-hubungan antarnegara berdasarkan keadilan, perikemanusiaan, kesusilaan, baik masa perang maupun masa damai sedangkan fungsi umum Mahkamah Internasional dinyatakan dalam Piagam PBB Pasal 38 ayat (1), yaitu memutus perkara sesuai dengan hukum internasional atau berlandaskan sumber-sumber hukum internasional.
ICJ memiliki fungsi utama yakni untuk menyelesaikan sengketa antar negara anggota PBB. Lembaga ini juga memberikan nasihat kepada badan-badan resmi dan lembaga khusus PBB. Selain mengacu pada Piagam PBB, tugas dan fungsi ICJ juga diatur dalam The Statute of The International Court of Justice. Dalam Pasal 34 Statuta tersebut, tertulis ketentuan bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak dalam suatu perkara di Mahkamah Internasional. Berdasarkan statute tersebut, Fajri Muhammadin – dosen hukum internasional UGM – dalam artikelnya menyimpulkan bahwa permasalahan individu tidak dapat diajukan ke ICJ. Dengan kata lain, perkara yang dapat diajukan adalah hal-hal yang berkenaan dengan kedaulatan negara. ICJ juga tidak dapat berinisiatif untuk ‘ikut campur’ atau menyidangkan kasus sengketa antar negara tanpa adanya persetujuan oleh kedua belah negara yang bersengketa. Karena, yang menjadi highlight disini adalah pelanggaran HAM ABK WNI, maka sudah pasti kita akan lebih fokus ke ICC.