Konstitusi kelima, konstitusi Peralihan (19 oktober 1999-10 agustus 2002). Terjadi karena gerakan reformasi nasional yg dipelopori mahasiswa yg menghendaki perbaikan dalam penyelenggaraan negara dari orba ke orde reformasi. Periode ini merupakan peralihan konstitusi dari UUD 1945 hasil dekrit presiden 1959 menjadi UUD 1945 pasca perubahan yg menuangkan aspirasi reformasi ketetanegaraan ( transitional constitution). Perubahan dilakukan empat kali, 1999, 2000, 2001 dan 2002. Dilakukan oleh MPR yg mengalami evolusi kedudukan dari superpower menjadi lembaga negara powerless. Konstitusi keenam,Konstitusi pasca perubahan UUD 1945(10 agustus-sekarang). Reformasi konstitusi telah selesai dilakukan dengan disahkannya perubahan keempat pada 10 agustus 2002. Perubahan dilakukan oleh Badan pekerja MPR (BP MPR) dan membentuk panitia ad hoc (Pah I, II dan III). Menghasilkan 174 substansi baru atau 300 % dari isi UUD sebelumnya.
Pengalaman berkonstitusi kita di atas menunjukkan bahwa konstitusi mengalami dinamika sesuai dengan situasi sosial dan politik. Pertanyaanya apakah gagasan perubahan UUD NRI 1945 yang telah disahkan pada tahun 2002 memiliki landasan sosial,politik,hukum yang mendekati kondisi ketika terjadi perubahan konstitusi di atas. Penulis dapat memastikan bahwa kondisi kehidupan ketatanegaraan saat ini masih aman dan kita mulai menata sistem kehidupan ketatanegaraan kea rah yang lebih stabil. Masa transisi konstitusi telah kita lewati selama kurang lebih 14 tahun, dinamika ketatanegaraan masih berada pada situasi yang tidak segenting situasi pada perubahan-perubahan konstitusi yang telah kita lewati.[5]
Namun demikian bahwa gagasan perubahan konstitusi bukanlah hal yang tabu dibicarakan di forum akademik maupun forum politik. Bukan zamannya lagi kita menganggap bahwa UUD NRI 1945 adalah kitab suci yang disakralkan. Zaman terus berubah, pergaulan internasional juga terus berubah,konstitusi harus mengikuti perkembangan sosial dan politik yang selalu dinamis. Perubahan konstitusi adalah hal yang jamak saja dilakukan, tinggal menunggu moment dan situasi yang tepat untuk melakukan perubahan.[6]
Dalam UUD 1945 Perubahan terdapat sekitar 44 (empat puluh empat) ketentuan yang memerlukan pengaturan lebih lanjut yang diperintah oleh UUD 1945 yang cara pengaturannya berbeda-beda. Dalam proses pembentukan undang-undang, hal ini penting untuk diperhatikan dan ini juga menjadi dasar pertimbangan ketika menyusun program legislasi nasional (prolegnas). RUU yang diusulkan untuk dimasukkan dalam prolegnas harus mampu menggambarkan materi muatan yang akan diatur, apakah materi itu memang muatan undangundang atau tidak. Perlu diperhatikan juga apakah pengaturannya harus dalam undang-undang tersendiri untuk materi muatan itu, atau bisa juga tidak dalam undang-undang tersendiri. Di dalam prakteknya, hal ini sering masih tercampur aduk. Mungkin saja usul dalam bentuk judul RUU diajukan semata-mata didasarkan atas keinginan atau “will”, tidak didasarkan pertimbangan yang komprehensif melalui kajian dengan argumentasi yang dirumuskan dalam latar belakang pemikiran yang disertai analisis sebagaimana layaknya sebuah perencanaan.[1]
Untuk merumuskan kajian dan analisis sebagai bahan dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud diatas, sesungguhnya tidak perlu diserahkan kepada DPR dan seharusnya DPR tidak masuk terhadap hal-hal yang bersifat perumusan awal. Tugas merumuskan konsepsi awal seharusnya memang diserahkan kepada kelompok pakar atau ahli dan pengambilan keputusan atas setiap konsepsi yang merupakan produk lembaga di DPR diputuskan oleh DPR itu sendiri. Secara formil pembentukan peraturan perundang-undangan telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dimulai dari tahap perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Gagasan perubahan UUD NRI 1945 merupakan gagasan yang konstitusional, akademis, sesuai dengan pengalaman sejarah yang berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Gagasan itu akan dapat terwujud manakala didahului oleh situasi sosial dan politik yang mendukungnya. Kedua, gagasan untuk repositioning MPR sebagai lembaga tertinggi negara menghadapi hambatan konstitusional karena perubahan sistem pemilihan presiden dari pemilihan oleh MPR menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, ketiga, beberapa usulan substansi perubahan UUD berkaitan dengan, wilayah negara pasal (25 A), komisi negara (pasal 30) dan pasal 33 (hak penguasaan negara), dan, mekanisme perubahan dilakukan melalui referendum terlebih dahulu yang diikuti oleh proses konstitusional di MPR. Rekomendasi tulisan ini adalah, perubahan UUD NRI 1945 adalah sebuah keniscayaan karena konstitusi adalah dokumen yang dibuat manusia bukan kitab suci yang berasal dari Tuhan. Maka untuk perubahan itu penulis perlu menyarankan kepada badan pengkaji DPR untuk terus menggalakan kajian akademis terkait hal ini dengan cara mengkaji setiap pasal dalamUUD NRI 1945.
Penyebab suatu materi muatan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 yaitu penentuan RUU, Daftar Prioritas Prolegnas belum menggunakan kriteria yang jelas, tepat, dan konsisten, sehingga dinilai secara umum. Kurang Efektif untukpemilihan norma-norma yang akan dituangkan dalam RUU prioritas tersebut, maka RUU yang telah disahkan menjadi undang-undang tidak mencerminkan suatu pengaturan lebih lanjut dari UUD 1945. Hal ini mengakibatkan banyaknya substansi materi muatan yang sama dan bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa faktor lainnya yang menyebabkan suatu materi muatan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 yaitu:
- RUU yang akan disahkan menjadi undang-undang tidak disertai Naskah Akademik.
- Norma-norma yang dimasukan dalam RUU tidak melalui pertimbanganpertimbangan keberlakuan filosofis, yuridis, sosiologis, dan politis.
- Undang-undang yang dibentuk tidak berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, karena tidak mempunyai kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, juga asas dapat dilaksanakan, serta asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Seyogyanya menurut Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu undang-undang yang telah diputus dan dinyatakan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UUD 1945 merupakan suatu materi muatan untuk membentuk undang-undang berikutnya, atau dengan kata lain bahwa putusan yang dikeluarkan oleh MK terhadap undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 merupakan materi muatan yang akan ditindaklanjuti oleh DPR bersama Presiden. Namun pada kenyataannya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis, bahwa dari Tahun 2005-2010 ada 40 (empat puluh) materi muatan undang-undang yang beredar di masyarakat yang belum ditindaklanjuti oleh DPR atau presiden. Padahal Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengatur hal tersebut.
[1] Patiniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-undang Pasca Amandemen UUD 194, (Jakarta, Konpress, 2012), h. 357-360