Kedua, kualitas sumber daya penegak hukum yang belum maksimal. Misal pada kasus yang menimpa Bunga (korban), seorang penyandang disabilitas rungu wicara dan mengalami mental retardasi, Ia adalah murid Sekolah Luar Biasa (SLB) yang telah mengalami pencabulan dan perkosaan yang dilakukan oleh Oktober Budiawan, gurunya sendiri (Kurniawan et.al, 2015:99-101). Pada saat reka kejadian (olah TKP) penyidik memaksanya untuk memperagakan proses pencabulan dan pemerkosaan yang terjadi pada dirinya. Ini menunjukan kualitas penyidik sebagai penegak hukum yang abai dan tidak paham pada prinsip pendekatan proses hukum difabel.
Kemudian dalam tahap penuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru menggunakan pasal-pasal dalam KUHP sebagaimana penyidik dan bukan menggunakan pasal dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. Alasan jaksa adalah secara kalender usia Bunga adalah 22 tahun. Dalam hal ini Jaksa mengabaikan tes psikologis, secara mental psikologis umur Bunga setara dengan anak usia 9 tahun 2 bulan. Bahkan, jaksa tidak tahu secara persis identitas korban. Dalam tahap persidanganpun hakim yang mengadili kasus Bunga juga kurang memahami isu-isu disabilitas, hakim terjebak pada pola berpikir legalistic formal.
Perlakuan diskriminasi juga masih dilakukan penegak hukum, seperti misal dalam persidangan difabel rungu wicara menjadi korban pemerkosaan dipertanyakan “mengapa tidak berteriak saat pemerkosaan?” atau difabel tuna netra yang menjadi korban tindak pidana tidak diproses hukum dengan alasan korban tidak dapat melihat langsung kejadian dan pelakunya. Penegak hukum kerap mendiskriminasi difabel dengan disabilitas yang dimiliki, kemampuan dan kecakapannya hukumnya. Pandangan penegak hukum seperti ini menurut Mansour Fakih sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh ideologi normalisme yang penuh stereotype dan lebih lanjut mendorong ketidakadilan dan marginalisasi (Syafi’I, 2019:4). Keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan serta perlu pembenahan kedepan demi mewujudkan kesetaraan difabel dalam sistem peradilan.
Menegakkan Pembenahan
Pembenahan bagi saya setidaknya meliputi sektor legislasi dan sumber daya penegak hukum. Pertama, dilakukannya revisi terhadap KUHP dan KUHAP dengan arah pengaturan baru menggunakan pendekatan harmonisasi terhadap kepentingan difabel berhadapan dengan hukum. Kemudian disusun pula Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) tentang pelaksanaan difabel berhadapan dengan hukum. Ini penting untuk menyiasati aturan teknis hukum acara yang melibatkan pihak yang diidentifikasikan sebagai difabel.
Lebih lanjut, menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang akomodasi yang layak dalam proses peradilan bagi difabel sangatlah perlu untuk melengkapi jaminan hukum kesetaraan bagi difabel. Tidak kalah penting menyusun Peraturan Kapolri mengenai difabel berhadapan dengan hukum akan mendukung kerja integratif dalam pemenuhan kesetaraan difabel dalam sistem peradilan. Lebih jauh, memastikan arah pengaturan yang didasarkan pada kebutuhan difabel dalam sistem peradilan di Indonesia jauh lebih penting.
Setidaknya-tidaknya arah pengaturan tersebut saya identifikasi seperti pemeriksaan pada seluruh proses peradilan mulai dari penyelidikan hingga persidangan dengan pendekatan metode interaksi dengan difabel, jaminan bantuan hukum yang egaliter, pendamping disabilitas dengan tenaga professional seperti psikolog, profile assessment dalam tingkat penyidikan hingga persidangan, adanya pengaturan yang mengakui umur mental terutama bagi difabel yang mengidap gangguan mental, penerjemah juru bahasa isyarat dalam seluruh proses peradilan, serta pengadaan sarana prasarana/fasilitas proses peradilan yang aksesibel bagi difabel, seperti ramp standar, guiding block, papan informasi yang ramah difabel (seperti mengunakan tulisan braile), audio, braille, serta surat-surat dokumen penunjang mulai dari penyidikan hingga persidangan dengan model braille.
Kemudian melakukan peningkatan kualitas institusi dan sumber daya penegak hukum untuk memahami proses peradilan bagi difabel. Seperti melakukan pelatihan berjangka dan berkelanjutan mengenai pelayanan hukum terhadap difabel yang berhadapan dengan hukum bagi para penyidik di Kepolisian hingga JPU. Penting juga bagi saya institusi penegak hukum melakukan kerjasama dengan organisasi terkait sangatlah perlu, seperti yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta pada Juli 2018 yang menandatangai MoU atau nota kesepahaman dengan SAPDA (Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan Anak) tentang komitmen penegak hukum dalam mengimplementasikan hak perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas (MaPPI FH UI, 2019:66).
Kesimpulan Sebagai Sebuah Harapan