Polisi Siber dan kemunduran demokrasi
Saya sebagai pengguna aktif sosial media, baik itu Instagram maupun Twitter. Kerap kali menemukan berbagai kasus viral yang berhubungan erat dengan kejahatan siber. Menurut pengamatan saya pribadi, data di atas mengenai penyebaran konten provokatif memang merupakan kasus yang paling sering ditangani oleh Polisi Siber. Bahkan tempo hari, Polisi Siber telah melakukan menindakan kepada seorang warga Slawi yang diketahui mengolok-olok Gibran Rakabuming Raka yang kita ketahui bersama saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Banyak kasus lainnya yang semakin mencuatkan asumsi publik bahwa keberadaan Polisi Siber lebih sering menindak kasus penyebaran konten provokatif yang memiliki singgungan secara politis. Asumsi yang beredar bahkan menyimpulkan bahwa keberadaan Polisi Siber sebagai kepanjangan tangan besi pemerintah saat ini untuk membungkam masyarakat luas dalam mengomentari hal-hal yang berhubungan ke pemerintah, baik itu secara personal atau kritik terhadap kebijakan pemerintah itu sendiri.
Bahkan bisa jadi tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konten provokatif, sebelum salah ditafsirkan. Izinkan saya berpendapat bahwa sebenarnya asumsi tersebut tidaklah salah sepenuhnya mengingat kecenderungan penindakan kasus yang dirasa ‘menganggu pemerintah’.
Meski begitu, mengingat tugas Polisi Siber bukan hanya soal penindakan hukum secara represif. Tetapi juga bertugas sebagai satuan yang bertugas memberikan edukasi kepada masyarakat luas. Sehingga saya rasa, sepak terjang Polisi Siber ke depan bergantung pada bagaimana satuan ini memandang tugasnya dalam kerangkan kebijakan kriminal yang bertujuan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Baik itu melalui sarana penal maupun non penal.
Kebijaksanaan dan masalah lain yang menanti