Laju perkembangan teknologi semakin hari kian pesat, terbukti dengan diciptakannya berbagai teknologi yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Mari kita kilas balik sejenak, mengenang masa lalu yang belum semaju saat ini. Masa di mana begitu familiarnya jasa Wartel dan Warnet (Warung Telepon dan Warung Internet), ponsel masih menjadi barang yang begitu mahal nan eksklusif dan ribetnya berbagai urusan birokratis yang mengharuskan kehadiran personal untuk mengurus banyak hal.
Saat ini, berbagai aspek kehidupan begitu terbantu dengan semakin berkembangnya teknologi bagaikan jalan tol yang begitu mulus dan efisien. Pesatnya perkembangan teknologi secara mudah dapat kita kenali dengan semakin mudah dan murahnya akses terhadap internet. Internet bukan lagi menjadi kebutuhan sekunder, melainkan telah beralih sebagai kebutuhan primer. Sesuai dengan data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia di tahun 2020, bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta pengguna. Jumlah yang tiap tahun terus meningkat sekaligus menandakan era Internet of Things (IoT) tepat di depan hadapan kita semua.
Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan peradaban manusia. Dalam segi dinamika sosial, perkembangan teknologi selain melahirkan berbagai kemudahan aksesbilitas juga melahirkan berbagai persoalan sosial. Mulai dari ketimpangan sosial hingga berbagai kejahatan. Menurut Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) di tahun 2020 setidaknya terjadi 190 juta upaya serangan siber di Indonesia dan angkanya meningkat empat kali daripada periode sebelumnya.
Munculnya berbagai kriminogen seiring perkembangan era yang semakin bergantung pada internet merupakan sebuah realita yang harus dihadapi bersama. Khususnya oleh negara sebagai organisasi terbesar yang bertanggung jawab atas perlindungan hak asasi warga negaranya. Jika berbicara secara idealistis, maka keberadaan UU ITE seharusnya menjawab persoalan ini. Di satu sisi, haruslah saya akui jika berbicara secara realistis maka keberadaan UU ITE malah disinyalir menimbulkan persoalan baru dalam tataran implementasi.
Mari kita refleksikan bersama betapa maraknya laporan kasus kejahatan siber tentang penyebaran konten provokatif (baik itu konten asusila, pencemaran nama baik hingga ujaran kebencian). Bahkan menurut Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sepanjang tahun 2020, terdapat 2.259 laporan kasus kejahatan siber yang 1.048 diantaranya merupakan laporan kasus penyebaran konten provokatif.
Meningkatnya kasus kejahatan siber seiring perkembangan zaman direspon oleh Polri dengan membentuk Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri yang kemudian kini kita kenal sebagai Polisi Siber. Satuan ini memiliki tugas yakni melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan siber yang secara umum dibagi menjadi dua kelompok kejahatan yaitu; 1) computer crime, dan 2) computer-related crime.
Polisi Siber dan kemunduran demokrasi
Saya sebagai pengguna aktif sosial media, baik itu Instagram maupun Twitter. Kerap kali menemukan berbagai kasus viral yang berhubungan erat dengan kejahatan siber. Menurut pengamatan saya pribadi, data di atas mengenai penyebaran konten provokatif memang merupakan kasus yang paling sering ditangani oleh Polisi Siber. Bahkan tempo hari, Polisi Siber telah melakukan menindakan kepada seorang warga Slawi yang diketahui mengolok-olok Gibran Rakabuming Raka yang kita ketahui bersama saat ini menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Banyak kasus lainnya yang semakin mencuatkan asumsi publik bahwa keberadaan Polisi Siber lebih sering menindak kasus penyebaran konten provokatif yang memiliki singgungan secara politis. Asumsi yang beredar bahkan menyimpulkan bahwa keberadaan Polisi Siber sebagai kepanjangan tangan besi pemerintah saat ini untuk membungkam masyarakat luas dalam mengomentari hal-hal yang berhubungan ke pemerintah, baik itu secara personal atau kritik terhadap kebijakan pemerintah itu sendiri.
Bahkan bisa jadi tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konten provokatif, sebelum salah ditafsirkan. Izinkan saya berpendapat bahwa sebenarnya asumsi tersebut tidaklah salah sepenuhnya mengingat kecenderungan penindakan kasus yang dirasa ‘menganggu pemerintah’.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.