Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final and binding sejak diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Sebagaimana tertuang dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal ini berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)”.
Final and binding dalam putusan MK bermakna putusan akhir atau proses akhir dari semua rangkaian, proses atau tahapan pemeriksaan dalam suatu perbuatan atau peristiwa yang memiliki kekuatan mengikat atas kehendak-kehendak para pihak dan tidak dapat dibantah lagi. Dalam arti itu terkandung bahwa putusan MK harus dilaksanakan sejak diucapkan.
Namun, dalam penerapannya masih saja terdapat lembaga atau pihak-pihak yang tidak melaksanakan atau mengabaikannya. Hal tersebut menjadikan Putusan MK hanya mengambang dan sebatas macan kertas yang tidak mampu diterapkan guna mencapai tujuan-tujuan hukum.
Martabat terhormat MK sebagai the guardian of constitution tentu ternodai atas pengabaian tersebut. Perbuatan tersebut dalam suatu kondisi tertentu dapat dikategorikan sebagai Contempt of Court. Namun, pengabaian tersebut dapat terjadi karena ketidakmampuan lembaga atau pihak-pihak yang dituju untuk melaksanakan putusan MK.
Terdapat alasan mengapa pada beberapa putusan MK tidak dilaksanakan. Pertama, tenggang waktu pelaksanaan putusan. Bunyi Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memberikan kesimpulan bahwa sejak selesainya putusan itu diucapkan atau dibacakan, sejak saat itu pula perintah putusan itu harus dilaksanakan.